Terjebak Hutang Budi

SARANG NAFSU




Brak brak brak...!!!

Beberapa kali aku menggebrak meja yang ada di depanku. Sementara wanita itu masih terus menutup wajahnya, dia masih terus menangis. Wanita itu adalah Arum, istriku. Dia sejak tadi sudah menangis, sejak dia mulai menceritakan apa yang dia alami kepadaku. Cerita yang begitu menyayat hatiku. Aku benar-benar marah, tapi bukan kepada dirinya, karena aku tahu dia hanya menjadi korban disini. Aku marah kepada keadaan, dan orang yang telah membuat Arum menjadi begini.

Namaku Krisna, 29 tahun. Dan istriku, Arum Wardhani, 26 tahun. Kami belum 2 tahun menikah, dan sampai sekarang belum dikaruniai anak. Aku bekerja sebagai seorang karyawan di sebuah perusahaan swasta, sedangkan istriku bekerja sebagai PNS di sebuah dinas pemerintahan di kota kami.

Sedikit tentang istriku, dia adalah wanita yang sangat cantik dan menawan. Aku sudah memacarinya sejak lama, sejak dia menjadi mahasiswa baru dan kebetulan saat itu aku yang menjadi pembina di kelompok ospeknya. Hanya sebulan setelah ospek, dia sudah resmi menjadi pacarku. Terhitung sampai sekarang, kami sudah hampir 8 tahun bersama. Tapi selama berpacaran kami tak pernah melakukan hal-hal yang dilarang. Aku baru benar-benar menyentuh tubuhnya setelah kami sah menjadi suami istri.

Setelah menikah denganku, Arum memutuskan untuk memakai jilbab. Dia bilang mau menjaga penampilan dan dirinya, sehingga hanya akulah lelaki yang berhak atas dirinya. Tentu saja hal itu membuatku semakin menyayanginya.

Banyak temanku yang merasa iri dengan keberuntunganku bisa mendapatkan wanita secantik Arum. Akupun juga bersyukur akan hal itu, dan itulah yang selalu kujaga sampai sekarang. Tapi sayangnya, malam ini, aku benar-benar merasa menjadi orang yang sangat bodoh, karena gagal menjaga istriku. Telah ada lelaki lain, yang berhasil memaksanya menyerahkan tubuhnya. Dan itulah yang saat ini membuatku beberapa kali menggebrak meja yang ada di depanku.

Arum tadi sudah menceritakan semuanya, dengan sangat detail. Dia bersumpah tidak ada yang disembunyikan lagi. Aku tahu Arum, dia tidak mungkin berbohong, dan itulah yang semakin membuatku marah kepada diriku sendiri.

Cerita ini dimulai dari beberapa minggu yang lalu. Saat itu Arum terpaksa harus lembur dan pulang agak petang. Sedangkan aku, yang memang kerja di kantor swasta, memang sudah sering pulang telat. Aku memang jarang mengantar jemput Arum karena dia membawa kendaraan sendiri, seperti halnya hari itu.

Sebenarnya saat itu Arum tidak sendiri lemburnya, hampir semua temannya juga lembur, entah karena mau ada apa, setahuku sih mau ada rapat tahunan, atau semacamnya lah. Mereka baru selesai sekitar jam 7 malam. Meskipun tidak terbiasa pulang jam segitu, tapi karena jarak rumah dengan kantor yang tidak terlalu jauh, dan juga kondisi jalanan yang cukup terang dan ramai, Arum tak khawatir pulang sendiri.

Setelah berpamitan dengan teman-temannya yang kebetulan tidak ada yang searah dengan Arum, diapun pulang naik motor maticnya. Tapi baru beberapa puluh meter meninggalkan gerbang kantornya, tiba-tiba motor Arum dipepet oleh 2 buah motor yang memaksanya bergerak ke pinggir.

“Berhenti, atau kami bunuh!” bentak seorang diantaranya.

Arum tak bisa melihat dengan jelas wajah keempat orang yang mencegatnya karena mereka semua memakai penutup wajah. Pria yang membentak tadi juga menodongkan parang ke arahnya, hingga nyali Arumpun semakin ciut. Mau tak mau diapun meminggirka motornya, diikuti oleh keempat orang yang naik 2 motor itu.

“Ampun bang, jangan sakiti saya. Ambil aja motornya, saya jangan diapa-apain.”

“Heh diem lu. Gue yang nentuin bukan elu!!!”

Lagi-lagi digertak seperti itu Arum makin ciut nyalinya. Dia tak berani berbuat apa-apa, hanya terus berdoa, semoga para begal ini hanya mengambil motornya, lalu pergi tanpa melukainya.

“Siniin tas lu!!”

Tiba-tiba salah seorang begal yang membawa parang tadi mendekati Arum, dan merebut tasnya dan langsung mengacak-acak isinya. Handphone Arum diambil, dompetnya juga, dibuka dan diambil semua uang yang ada. Tapi anehnya pria itu tak langsung membuang dompet Arum, tapi masih seperti melihat sesuatu.

“Hmm, Arum Wardhani. Cantik juga foto lu, coba buka helm sama masker lu!!!”

Saat itu Arum memang masih memakai helm dan maskernya. Karena lagi-lagi ditodong dengan parang, Arumpun menurutku kemauan begal itu. Sementara salah satu sedang mengancam Arum, ketiga temannya terlihat berjaga-jaga melihat kondisi, yang entah kenapa malam itu lebih sepi dari biasanya.

Arum berharap ada seseorang atau siapapun yang lewat untuk bisa menolongnya, tapi sejak tadi dia keluar dari kantornya, tidak ada satupun kendaraan yang mengarah kesini.

“Woy buruan, mau lu gue bacok?!”

“Ii,, iya bang.”

“Wuiih, beneran cantik rupanya lu ya. Eh bro, gimana kalau kita bawa sekalian ni perek, buat senang-senang malam ini.”

“Wah boleh juga tuh bro, cantik banget, udah lama gue nggak ngewe cewe secantik ini, jilbaban lagi. Udah angkut aja.”

Arum mendadak semakin takut, mengetahui apa yang sedang dibicarakan oleh para begal itu. Dan saat itu tiba-tiba muncul keberaniannya untuk membela diri. Dia tak mau sampai jatuh ke para begal itu, dia ingin melawan mereka, semampunya.

Brak!!!

“Anjing, bangsat!!!”

Dengan sisa keberaniannya, Arum melemparkan helm yang dia pegang sekerasnya ke wajah begal itu. Diapun langsung lari. Agak susah karena dia memakai rok panjang sehingga langkahnya tak begitu lebar.

“Kejar dia. Bangsat tuh cewek, gue habisin entar!!”

Arum sempat melihat ke belakang dan keempat pria itu langsung mengejarnya. Karena panik Arum malah masuk ke sebuah lokasi perkantoran, berharap ada seseorang disana, minimal petugas keamanan yang bisa dia mintai tolong, tapi sialnya tidak ada seorangpun disana. Saat hendak berbalik, ternyata para begal itu sudah berhasil menyusulnya.

“Mau lari kemana lu hah?”

“Ampun bang, tolong ampuni saya.”

“Ampun lu bilang? Lu udah lemparin helm ke muka gue, sekarang minta ampun? Gue bikin perkosa abis lu, baru gue ampunin. Cepet tangkep dia!!!”

“Siap boss!”

Dua orang langsung maju menyergap Arum. Arum yang tak bisa apa-apa dengan mudahnya diringkus oleh kedua penjahat itu. Dia langsung dijatuhkan ke tanah, dengan kedua kaki dan tangannya dipegangi dengan kuat oleh kedua pria itu.

“Hahaha, sekarang lu rasain akibatnya. Malem ini, gue nikmatin tubuh lu abis-abisan, haha.”

“Ampun, tolong jangan. Jangaaaan...”

Pria yang dilempar wajahnya dengan helm oleh Arum tadi langsung menindih tubuh Arum. Arum tak bisa bergerak karena tangan dan kakinya masih dipegangi. Pria itu dengan leluasa menjamah tubuh Arum.

Breeet...

Dengan sekali tarikan, kancing kemeja seragam Arum langsung lepas semua, membuat tubuhnya terbuka, dan hanya tertutup oleh bhnya saja. Tak puas sampai disitu, lelaki itu juga merobek bh Arum dengan parangnya, kini sempurnalah tubuh bagian depan Arum terbuka.

“Aaaaaaa jangaaaaaaann...”

“Hmmmm nyyymmmm enaak benget nih susu, kenyal, mantap, hahaha.”

Pria itu langsung melumat buah dada Arum yang memang cukup besar dan masih sekal itu. Dia begitu kasar memperlakukan Arum, sedangkan Arum hanya bisa berteriak sambil menangis, tanpa bisa melawan karena dia rasakan cengkraman di kedua kaki dan tangannya semakin erat. Mungkin mereka yang memegangi Arum ikut bernafsu juga melihat tubuh indahnya yang terbuka dan sedang dikerjai oleh temannya itu.

“Hei apa apaan ini! Cepat lepaskan wanita itu!”

Tiba-tiba terdengar teriakan seorang pria dari belakang mereka.

“Paa,, paak Jamal, tolong pak..”

Lelaki itu ternyata adalah Jamal, atasan Arum di kantornya. Jamal nampak berdiri dengan wajah penuh amarah.

“Brengsek, gangguin aja. Mau mampus lu?!”

Pria yang tadi mencumbui Arum lalu bangkit dan langsung menyerang Jamal, tapi terlihat Jalam dengan mudah menghindar, bahkan memukul balik si begal itu. Pertarungan mereka berlanjut dan Jalam berhasil membuat parang yang dipegang pria itu terlepas. Saat temannya akan membantu, tiba-tiba Jamal mengeluarkan pistol dari balik bajunya.

“Kalau masih ingin hidup, cepat tinggalkan tempat ini!” bentak Jamal.

“Jangan mau dibohongi, itu pasti cuma pistol mainan,” ucap si begal kepada temannya.

Dooorrr...

Tiba-tiba Jamal menembakkan pistol itu. Tentu saja keempat begal itu menjadi ketakutan, dan langsung lari begitu saja. Jamal mengambil parang yang tadi dibawa begal itu dan membuangnya, berjaga-jaga agar para begal itu tidak menyerang lagi dengan tiba-tiba.

“Arum, kamu nggak papa?” tanya Jamal mendekat.

Arum buru-buru merapikan pakaiannya, meskipun Jamal sempat sekilas melihat tubuh Arum yang terbuka.

“Ii,, iya, saya nggak papa pak. Terima kasih udah nolongin saya.”

“Ya udah, cepat rapikan baju kamu, kita pergi dari sini.”

Arum kemudian berdiri, dia mengikuti langkah Jamal. Mereka berjalan menuju ke tempat motor Arum tadi ditinggalkan. Dan ternyata para begal itu sudah kabur tanpa membawa motor Arum. Tas dan seisinya juga masih tergeletak disitu, hanya uangnya saja yang raib karena tadi sempat dimasukan kantong oleh begal itu.

“Kamu bisa pulang sendiri Rum?” tanya Jamal.

“Hemm,,,”

Arum terlihat kebingungan. Sebenarnya dia masih bisa mengendarai motornya sendiri untuk pulang meskipun masih agak takut. Tapi masalahnya, kancing baju Arum sudah terlepas semua, kalau dia membawa motor, dia bingung bagaimana kalau nanti bajunya terbuka dengan bebas. Rupanya Jamal menyadari hal itu.

“Ya udah, kalau gitu aku anterin kamu pulang aja.”

“Motor saya gimana pak?”

“Tinggal aja dulu, entar aku suruh orang buat ngambil.”

Akhirnya Arumpun diantar oleh Jamal dengan mobilnya. Dalam perjalanan, tak henti-hentinya Arum berterima kasih pada Jamal, karena kalau lelaki itu tidak datang tepat waktu, entah apa yang akan terjadi pada dirinya.

“Sekali lagi terima kasih pak Jamal, kalau bapak nggak datang, saya nggak tahu apa jadinya.”

“Udahlah, tadi cuma kebetulan aja aku lewat. Terus aku lihat motor kamu ada disitu, tas kamu juga berserak isinya, aku curiga ada apa-apa. Dan bener, aku denger teriakan kamu dari tempat itu tadi, makanya aku datengin. Untungnya aku bawa senjata ini, jadi bisa buat nakutin mereka.”

“Buat nakutin? Jadi itu bukan pistol sungguhan pak?”

“Bukan. Ini cuma mainan, kayak yang dibilang begal itu tadi, tapi emang mirip banget sama aslinya, dan suaranya juga kayak pistol asli kan?”

“Oh gitu? Tapi ya apapun itu, saya cuma bisa ngucapin makasih pak. Saya berhutang budi banget sama pak Jamal.”

“Ah udahlah, nggak usah dipikirin.”

Saat sampai di rumah, Arum menyerahkan kunci motor dan juga surat-suratnya kepada Jamal. Jamalpun pergi tanpa mampir, katanya tak enak dengan tetangga, apalagi saat itu aku memang belum pulang.

Saat aku pulang, dan kulihat tidak ada motornya di garasi, sempat kutanyakan kepada Arum, dan dia bilang kalau motornya bocor dan terpaksa ditinggal di kantor, tadi dia pulang diantar oleh Jamal. Saat itu Arum tidak menceritakan kejadian yang sesungguhnya, karena takut membuatku khawatir. Pakaiannya yang sudah hilang semua kancingnya juga disembunyikan, sedangkan bhnya yang robek juga sudah dibuang.

Sejak saat itulah Arum menjadi semakin dekat dengan Jamal di kantor. Rasa hutang budinya lah yang membuatnya seperti itu. Jamal sendiri terlihat lebih perhatian kepada Arum, tapi masih dalam batasan yang wajar. Tak pernah Jamal menggodanya, mengajaknya pergi berdua juga tak pernah. Paling mentok Arum diajak makan siang, itupun tak pernah hanya berdua, selalu ramai-ramai dengan teman kantornya yang lain.

Sampai peristiwa itu akhirnya terjadi juga. Minggu lalu tepatnya, saat itu Jamal mendapat undangan untuk mengikuti seminar di luar kota. Undangan itu untuk 2 orang, dan Jamal akhirnya mengajak Arum. Arum sebenarnya merasa tak enak kalau harus pergi hanya berdua saja, tapi mengingat kebaikan dan jasa Jamal kepadanya, Arum juga tak sampai hati menolaknya.

Akhirnya Arum minta ijin kepadaku. Saat itu aku mengijinkan karena Arum bilang selain dia dan Jamal, ada 2 orang lagi yang pergi bersama mereka. Akupun tak menaruh curiga sama sekali, dan saat itu tak ada prasangka buruk sama sekali. Arum berangkat pada hari kamis, dan baru akan pulang hari minggunya.

Dia dan Jamal berangkat ke kota ini dengan menggunakan mobil Jamal. Perjalanan yang mereka tempuh sekitar 3 jam. Dalam perjalanan itu Arum juga tak melihat ada hal yang mencurigakan dari Jamal, semua terasa biasa. Kecuali memang Jamal mulai sedikit terbuka dalam bicara, tidak seformal saat di kantor. Tapi itu menurut Arum masih wajar, karena tidak menyinggung hal yang bersifat pribadi.

Sesampainya di tempat tujuan, mereka langsung menuju ke hotel yang menjadi tempat acara. Rupanya panitia hanya menyiapkan 1 kamar untuk 1 undangan, yang artinya Arum harus sekamar dengan Jamal. Tapi saat itu Jamal menolak dan meminta 2 kamar meskipun harus membayar. Akhirnya setelah negosiasi yang cukup alot dengan pihak panitia dan hotel, mereka mendapatkan 2 kamar yang bersebelahan dan dihubungkan oleh sebuah connecting door.

Arum merasa lega karena tak harus sekamar dengan Jamal. Dia juga semakin menaruh respek pada Jamal karena dia yang berusaha agar tak sampai sekamar dengannya. Terlihat Jamal sangat menghormati Arum. Padahal saat itu, setelah acara berlangsung baru Arum tahu kalau selain mereka, ada beberapa pasang peserta yang statusnya sama seperti dirinya dan Jamal, yaitu atasan dan bawahan, tapi mereka tetap sekamar.

“Yaa, kamu tahulah Rum, apa yang akan mereka lakukan jika sekamar kan?”

“Hmm, tapi mereka bukan pasangan yang sah kan pak?”

“Ya jelas bukan. Mereka pasangan selingkuh, selingkuh yang terfasilitasi. Kayak gitu udah bukan hal yang aneh Rum, udah sering aku lihat yang kayak gitu.”

Arum hanya mengangguk saja, semakin besar rasa hormatnya kepada Jamal.

Acara yang diikuti oleh Arum sebenarnya terasa membosankan. Seminar dimulai hari jumat pagi, itupun hanya sampai sore jam 3. Setelah itu peserta bebas mau apa saja. Sedangkan hari sabtunya, acaranya santai, hanya senam bersama, setelah itu penutupan. Tapi karena sudah terlanjur booking hotel sampai hari minggu, jadi mereka tetap stay disini. Apalagi katanya malam harinya bakal ada acara hiburan.

Arum sebenarnya sudah ingin pulang, karena merasa acara ini sama sekali tak ada manfaatnya untuk dia, tapi dia merasa tak enak dengan Jamal, sehingga terus saja mengikuti setiap acara sampai selesai.

Pada sabtu pagi, setelah senam bersama, saat sedang beristirahat tiba-tiba ada seseorang yang mendekati Arum. Arum tidak mengenalnya, tapi lelaki itu berkali-kali coba menggoda Arum, menanyakan dengan siapa datang kesini, sampai menanyakan nomer handphone ataupun PIN BBM Arum, yang sama sekali tak diberikan, namun orang itu mulai memaksanya.

“Ehem, ada apa ya pak? Kok mepet-mepet istri saya dari tadi?”

Tiba-tiba Jamal datang dari belakang orang itu. Orang itu sempat terkejut, lalu kembali bersikap santai.

“Oh, jadi ini istri anda? Saya tidak tahu ada peserta yang suami istri disini, apa benar ini istri anda?” orang itu meragukan pernyataan dari Jamal.

“Hmm, jadi apa yang bisa saya buktikan kepada anda supaya percaya kalau dia benar-benar istri saya?” ucap Jamal yang tiba-tiba langsung memeluk dan mencium pipi Arum.

Arum sempat terkejut tapi dia tahu Jamal melakukan itu untuk meyelamatkan situasi, karena itulah dia balas memeluk Jamal.

“Oh maaf kalau begitu. Saya hanya mengagumi istri anda. Istri anda benar-benar mempesona. Ya sudah kalau begitu, saya permisi dulu. Dan saya minta maaf kalau sudah bikin anda tidak nyaman nyonya.”

Pria itu segera pergi setelah mendapat jawaban dari Arum berupa senyuman. Tanpa menunggu lama Jamal yang masih memeluk tubuh Arum mengajaknya pergi. Setelah agak jauh, dia melepaskan pelukan itu dan minta maaf pada Arum.

“Rum, maaf banget ya kalau aku udah lancang. Aku sama sekali nggak ada maksud apa-apa, hanya saja itu satu-satunya cara biar lelaki itu percaya dan segera pergi.”

“Iya pak, nggak papa, saya maklum kok.”

“Dia itu Bonar, pemimpin salah satu dinas pemerintahan di kota ini. Dia sudah terkenal playboy, suka main cewek. Di acara kayak gini, selain dengan pasangan yang dia bawa, dia udah sering nyari wanita lain buat dia tiduri.”

“Jadi, pak Jamal kenal sama dia?”

“Kenal sih nggak, cuma tahu aja. Reputasi buruknya itu udah banyak yang tahu. Karena itulah aku harus bertindak kayak gitu tadi, jadi, aku minta maaf ya?”

“Oh iya pak. Harusnya saya yang berterima kasih sama bapak.”

Meskipun sebenarnya ada rasa tidak terima, karena Jamal adalah lelaki pertama yang mencium Arum selain aku, tapi mempertimbangkan kondisinya tadi, dia bisa menerimanya, bisa memakluminya. Hal itu memang sepertinya dilakukan untuk menghindarkan bahaya yang lebih jauh untuk Arum.

Tapi karena mereka masih berada di hotel itu sampai keesokan harinya, mau tak mau jika keluar kamar, Arum harus mau bersikap lebih mesra dengan Jamal. Mereka makan siang di restoran hotel, dan kebetulan sekali meja makan yang mereka tempati berdekatan dengan pria yang tadi mendekati Arum. Pria itu duduk dengan seorang wanita cantik, tapi terus-terusan melirik ke arah Arum, membuat Arum merasa tak nyaman. Tapi genggaman tangan dari Jamal bisa sedikit menenangkannya.

Saat itu, sekali lagi Jamal berbisik kepada Arum. Dia meminta maaf tapi mereka harus berakting layaknya suami istri. Arum bingung harus bersikap seperti apa, karena selama ini dia hanya pernah berhubungan denganku. Sebelumnya, Arum tak pernah berpacaran. Melihat kebingungan Arum, Jamal terus menggenggap tangan Arum, dan lama kelamaan itu membuatnya nyaman.

Yang membuat Arum risih sebenarnya bukan genggaman tangan Jamal, tapi lelaki yang tadi menggodanya, tak pergi juga dari tempatnya, padahal sang wanita yang duduk bersamanya sudah berulang kali mengajaknya pergi. Akhirnya justru Jamal yang berinisiatif mengajak Arum pergi. Lega sudah rasanya, terbebas dari tatapan liar lelaki itu, meskipun Arum kembali harus merelakan tubuhnya dipeluk oleh Jamal.

Setelah makan siang itu Arum dan Jamal kembali ke kamar mereka masing-masing. Tak banyak yang dilakukan oleh Arum. Dia sempat beberapa kali berkirim pesan denganku, tapi karena aku sedang kerja jadi tak bisa langsung membalasnya. Meskipun hari sabtu, dan meskipun aku kerja di swasta, tapi aku tetap masuk seperti biasa.

Hingga sejam lebih Arum berdiam diri di kamar sampai akhirnya ada WA masuk dari Jamal.

“Arum, kamu lagi sibuk nggak?”

“Nggak pak, ada apa?”

“Kamu bosen nggak sih? Aku bosen banget nih. Gimana kalau kita keluar, sekalian cari oleh-oleh?”

Arum sempat berpikir sejenak. Dia memang belum berpikir untuk mencari oleh-oleh, karena juga keluar kota memang dia jarang sekali pulang membawa oleh-oleh. Tapi karena dia juga merasa bosan di kamar, akhirnya dia menyetujui usul dari Jamal.

“Boleh pak, kebetulan saya juga lagi bosen.”

“Ya udah, 10 menit lagi ya.”

Tanpa menjawab Arum merapikan dirinya. 10 menit kemudian dia sudah berjalan ke lift dengan Jamal. Dan sialnya lagi, di lift mereka bertemu dengan lelaki yang dari tadi pagi menggoda Arum. Lagi-lagi Arum harus berakting layaknya istri dari Jamal. Jamalpun tanggap, dan langsung merangkul Arum. Sampai di bawah mereka cepat-cepat keluar hotel dan menuju ke parkiran.

Sekitar 2 jam mereka berkeliling mencari oleh-oleh. Sebenarnya tak banyak yang dibeli, mereka menghabiskan waktu agar tak buru-buru kembali ke hotel dan menghadapi rasa bosan lagi disana. Saat jalan-jalan itu, entah sadar atau tidak tangan Arum tak lepas dari genggaman Jamal. Tapi hanya sebatas itu, tidak lebih. Saat itu Arum berpikir kalau Jamal mungkin ingin menjaganya, karena kondisi di tempat mereka jalan-jalan yang cukup ramai.

Dalam perjalanan pulang mereka banyak bercanda. Suasana diantara keduanya sudah lebih cair dari biasanya. Arum juga sudah mulai bisa menanggapi candaan Jamal, yang sebelumnya selalu dia tahan-tahan. Sampai di hotel, mereka kembali ke kamar masing-masing. Sebelumnya Jamal sempat bertanya apakah Arum ikut acara makan malam atau tidak.

“Rum, nanti kan ada gala dinner, kamu mau ikut nggak?”

“Hmm, nggak tahu pak. Pak Jamal ikut nggak? Kalau pak Jamal ikut kan berarti saya harus ikut.”

“Aku sih dapet undangan. Tapi kalau kamu capek ya istirahat aja nggap papa.”

“Hmm, kalau gitu saya ikut aja deh pak.”

“Ya udah kalau gitu, dandan yang cantik ya.”

“Hehe, siap boss.”

Jam 7 malam Arum sudah bersiap. Seperti pesan Jamal tadi, malam ini dia berdandan cukup cantik. Belum pernah sebelumnya dia berdandan secantik itu untuk urusan dengan orang kantornya, termasuk Jamal. Biasanya dia berdandan seperti itu jika pergi denganku. Arum kemudian keluar kamar, dimana Jamal sudah menunggunya.

“Wow, kamu bener-bener beda malem ini, cantik banget,” puji Jamal.

“Makasih pak,” jawab Arum tersipu.

“Ya udah yuk?”

Jamal menggerakkan tangannya, tanda meminta Arum untuk merangkulnya. Arumpun tanpa sungkan lagi melakukannya, jadilah mereka berjalan bergandengan. Acara makan malam itu tidak terlalu ramai, karena tidak semua peserta seminar mendapat undangan. Hanya orang-orang tertentu, yang menurut Arum mereka adalah para senior. Bahkan Jamal terlihat paling muda diantara mereka.

Semua mata tampak tertuju pada pasangan Jamal dan Arum. Para lelaki tampak mengagumi kencantikan Arum malam ini, dan itu membuatnya senang. Terlebih Jamal, dia terlihat merasa bangga dengan kondisi itu.

Makan malam itu berlangsung singkat. Sebenarnya, setelah acara makan malam masih ada lagi acara hiburan, tapi Jamal kemudian mengajak Arum untuk kembali ke kamar saja.

“Rum, masih mau disini apa balik ke kamar?”

“Pak Jamal gimana?”

“Aku bosen disini, balik aja yuk?”

“Ya udah pak, saya juga, hehe.”

Akhirnya mereka berdua kembali ke kamar. Tapi Jamal mengajak Arum untuk masuk ke kamarnya. Awalnya Arum sempat ragu, tapi Jamal bilang dia hanya ingin ada teman ngobrol saja, karena belum mengantuk, Arumpun akhirnya mau.

Di dalam kamar, Jamal menyalakan TV dan terlihat mengeluarkan sebuah botol dari dalam kulkas. Dia menyiapkan 2 buah gelas, lalu menuangkan isi botol itu ke masing-masing gelas, lalu memberikan salah satunya kepada Arum.

“Ini apa pak?”

“Itu cuma wine, tenang aja nggak ada alkoholnya kok, aman,” jawab Jamal sambil tersenyum.

Arum termasuk wanita yang lugu, dan dia percaya saja dengan ucapan Jamal. Dia sama sekali tak mengerti minuman-minuman seperti itu. Dia hanya pernah mendengar kalau minuman keras itu rasanya pahit, saat dia mencicipi minuman itu ternyata rasanya enak, dan diapun menegaknya. Mereka kemudian terlibat obrolan santai, sampai tanpa disadar Arum dia sudah beberapa kali mengisi gelasnya. Dan kini, dia mulai merasakan kepalanya pusing, dan tubuhnya agak menghangat. Dia juga merasa kalau badannya mulai lemas, bahkan tanpa sengaja dia menjatuhkan gelas yang dipegangnya.

“Loh kamu kenapa Rum?”

“Hmm nggak tahu pak, rasanya pusing, dan badan saya lemas.”

“Waduh, kayaknya kamu kebanyakan minum ini deh. Mau balik ke kamar aja?”

“Iya pak, tapi saya lemes banget.”

“Ya udah, ayo aku bantu.”

Jamal kemudian menghampiri Arum. Dia bantu Arum untuk berdiri, tapi karena tubuh Arum yang lemas, dia malah jatuh ke pelukan Jamal. Arum yang merasa pusing hanya menutup matanya. Dia hanya merasa kalau tubuhnya diangkat oleh Jamal, lalu direbahkan di ranjang. Dia tak tahu itu ranjang di kamarnya, atau masih di kamar Jamal. Dia masih menutup matanya karena masih pusing.

Arum kemudian merasakan kalau sepatu hak tinggi yang dipakainya mulai lepas satu persatu dari kakinya. Setelah itu dia merasa ranjangnya bergoyang. Saat membuka mata, ternyata Jamal sudah berada di sampingnya.

“Kamu masih pusing?”

Arum hanya mengangguk dengan tatapan sayu. Jamal hanya tersenyum.

“Ya udah, tutup lagi aja mata kamu, aku bantu biar pusingnya hilang.”

Arum tak mengerti apa maksud Jamal, tapi dia menuruti saja kata-kata lelaki itu. Saat Arum menutup matanya, dia merasakan keningnya dipijat oleh Jamal dengan lembut. Pijatan itu mulai membuatnya rileks, sehingga dia diam saja dan tetap terpejam.

Pijatan Jamal kemudian turun ke tengkuk Arum. Karena posisinya agak susah, Jamal mengarahkan kepala Arum agar menengok ke samping, sehingga dia bisa memijat tengkuknya. Tengkuk Arum adalah salah satu titik sensitifnya. Dia suka tidak tahan kalau disentuh di bagian itu, tapi saat ini dia justru merasakan nyaman dari sentuhan Jamal itu.

“Hhmmm...”

Arum bergumam tak jelas saat Jamal terus memijat tengkuknya. Perlahan-lahan Arum merasa semakin nyaman, dan tak tahu lagi apa yang sedang dilakukan oleh Jamal. Sampai akhirnya Arum terkejur dan membuka matanya. Dia terbelalak karena tangan Jamal yang tadi memijat tengkuknya kini sudah berada di payudaranya, sedang meremasnya.

“Bapak ngapain? Jangan paaak..”

“Udah kamu rileks aja sayang, ini biar pusingmu hilang.”

Arum berusaha berkelit. Dia berusaha menggerakkan tangannya untuk menepis tangan Jamal, tapi tangannya sangat lemas, tak bertenaga, jadi hanya terkesan Arum memegang tangan Jamal tanpa berusaha menyingkirkannya.

“Udah Arum sayang, kamu jangan nolak ya. Inget lho, kalau bukan karena aku, kamu udah diperkosa para begal itu tempo hari. Anggep aja ini balas budimu kepadaku.”

“Paak jangan gini, saya udah punya suami.”

“Iya aku tahu, dan karena itu aku makin penasaran sama kamu, sama tubuh kamu.”

“Paaak jangaahhmmmpp...”

Tak sampai menyelesaikan ucapannya, bibir Arum langsung dilumat oleh Jamal. Lelaki itu menciumi bibir istriku dengan sangat bernafsu. Hilang sudah sosok Jamal yang simpatik dan membuat Arum menaruh rasa hormat, berganti dengan Jamal yang bagaikan binatang buas yang siap menerkam mangsanya yang sudah tak berdaya.

Mendapati kondisinya yang lemah dan tak bisa melawan itu membuat Arum menangis. Air matanya turun tak tertahan. Dia berusaha mengatupkan bibirnya namun terlambat, lidah Jamal sudah masuk menjelajah isi mulut istriku. Cukup lama Jamal mengecup madu kenikmatan dari bibir istriku, kemudian melepaskannya. Tawanya terlihat sangat memuakkan bagi Arum saat ini.

“Sudahlah, kamu pasrah saja sayang. Kalau kamu nggak mau nurut, aku bakal kasih tubuh kamu ke begal-begal suruhanku tempo hari itu.”

Betapa terkejutnya Arum mendengar ucapan Jamal. Rupanya para begal itu adalah suruhannya. Itu berarti semua ini sudah direncanakan dengan matang oleh Jamal. Pantas saja waktu itu para begal itu dengan mudah dia kalahkan. Bahkan saat kabur, tak satupun barang berharga milik Arum yang dibawa. Kini Arum menyesali dirinya sendiri, yang dengan polosnya masuk ke perangkap Jamal.

Jamal kemudian berdiri dan melepaskan pakaiannya satu persatu. Kesempatan ini ingin digunakan Arum untuk kabur. Tapi sekali lagi, badannya sudah terlalu lemas, tak mampu bergerak. Dia akhirnya hanya bisa menatap tubuh Jamal yang sudah telanjang bulat dengan sangat ketakutan. Dia bisa melihat penis Jamal yang belum sepenuhnya ereksi, tapi besarnya sudah sama seperti punyaku yang sudah tegang maksimal.

Tidak heran memang, karena selain fisik Jamal yang lebih tinggi dan besar daripada aku, dia juga masih memiliki darah keturuan India dari keluarga ayahnya, pantas barang pusakanya pun lebih besar dan panjang daripada punyaku.

Jamal kemudian bergerak lagi menindih Arum. Dia kemudian langsung mencumbui Arum. Arum hendak menolak, hendak melawan, tapi sama sekali tak bisa. Hanya air matanya yang terus turun sampai membasahi jilbabnya.

Dalam cumbuannya itu, Jamal juga mulai melolosi pakaian Arum satu persatu. Gaun panjang Arum dia buang begitu saja, begitu juga dengan bh dan celana dalamnya. kini Arum hanya tinggal memakai jilbab yang sengaja tak dilepas oleh Jamal. Jamal sesaat memandangi tubuh istriku yang indah. Tubuh Arum langsing, perutnya masih rata. Buah dada 34B nya masih sangat kencang. Pinggulnya melebar sempurna, dengan bokong yang sangat montok. Rambut kemaluannya selalu dicukur habis sehingga terlihat sangat mulus. Ditambah kulitnya yang putih bersih tanpa cacat, membuat nafsu Jamal membuncah tak karuan.

Tanpa menunggu lebih lama, Jamal langsung menyerang tubuh istriku yang lemah tak berdaya. Tak seinchipun jengkal tubuh Arum yang terlewat dari jelajahan lidahnya. Arum merasa bergidik dengan kelakuan Jamal. Dia berkali-kali memohon agar Jamal menghentikan perbuatannya itu. Tapi siapa yang mau mendengar, saat tubuh sempurna seorang bidadari tergolek tanpa penutup di depannya.

“Aaaaah paaak jangaaaann...”

Arum merintih pelan saat kedua kakinya dibuka lebar oleh Jamal. Tak menunggu lama Jamal dengan lidahnya langsung menjilati bibir kemaluan Arum, sesuatu yang belum pernah aku lakukan sebelumnya. Ini adalah pertama kalinya organ kewanitaan Arum mendapatkan jilatan seorang lelaki, dan itu bukan dari aku, suaminya.

Arum merasakan sangat geli, tapi juga sangat terhina. Dia makin menangis, mendapati tubuh yang selama ini dia jaga hanya untukku, dengan bebas dijamah oleh orang lain, tanpa sedikitpun dia bisa melawan. Jilatan Jamal terasa luar biasa bagi Arum, tapi dia mencoba untuk menolak rasa itu. Dia masih mengingat statusnya sebagai istriku, dan mengingat kondisi ini adalah tak ubahnya sebuah perkosaan.

Tapi Arum hanya perempuan biasa yang memiliki batasnya. Akhirnya permainan lidah Jamal yang sudah sangat berpengalaman itu mampu menjebol pertahanan Arum. Tanpa bisa ditahan lagi, gelombang orgasme Arum datang begitu saja, dan Jamal dengan rakus menjilati cairan dari vagina Arum itu.

Sudah begitu, Jamal tak langsung menghentikan perbuatannya. Dia masih mengulanginya, sampai akhirnya Arum mendapatkan orgasmenya yang kedua, yang membuat nafasnya begitu terengah. Dia bahkan sampai menutup matanya, antara menikmati rasa nikmat itu, dan rasa penyesalan karena tak bisa mengontrol dirinya, hingga dibuat orgasme oleh pria lain.

Arum kembali membuka mata saat dia rasakan tubuh Jamal mulai bergerak. Dia mulai semakin merasa ketakutan saat tubuh lelaki itu mulai disejajarkan dengan pinggangnya. Jamal mulai menggesek-gesekkan ujung penisnya yang besar itu di bibir vagina Arum yang sudah cukup basah. Arum semakin menangis dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Jangan paaak, sayaa mohon jangaaaan...”

“Hahaha, udah nikmatin aja sayang. Aku hanya ingin memberimu kenikmatan, bukan menyakitimu.”

“Jangan paaa aaaaaakkkhhhh...”

Arum mulai menjerit saat kepala penis yang besar itu mulai menyeruak masuk ke bibir vaginanya. Arum merasakan sakit saat penis itu masuk meskipun baru kepalanya saja, karena ukurannya yang terlalu besar untuknya.

“Uuugh, sempit bener sayang, bener-bener nikmat.”

“Aaahh udaahhh, jangaan lagiiii...”

Tak mengindahkan kata-kata Arum, Jamal terus menekankan penisnya perlahan hingga setengahya tertanam di vagina Arum. Arum semakin kelojotan, kepalanya sampai terangkat, bibirnya terbuka lebar dan matanya tertutup rapat. Separuh penis Jamal sudah sangat menyakitinya, dan kata Arum, itu sudah seperti penisku yang hampir masuk semuanya.

“Aaaaarrrggghhhh...”

Pekik Arum saat tiba-tiba penis itu amblas semua di dalam vagina Arum. Air mata kembali turun mengalir dari matanya. Sakit dan perih, itulah yang dirasakan Arum di kemaluannya. Penis ini terlalu besar untuknya. Dia merasa seperti ada bagian dari vaginanya yang dibuka dengan paksa, yang selama ini tak terjangkau olehku. Dia juga merasakan kepala penis Jamal mentok sampai menekan bibir rahimnya, dan itu sangat menyakitkan untuknya.

“Gilaa, memek kamu bener-bener nikmat Rum. Lebih nikmat daripada yang pernah aku bayangkan selama ini,” ucap Jamal sambil mulai menciumi bibir Arum yang hanya bisa pasrah. Dia masih mendiamkan penisnya, membiarkan dinding vagina Arum beradaptasi dengan ukuran penisnya.

“Pak, lepasin aja jilbabku, aku mohon,” ucap Arum. Dia masih cukup sadar untuk hal itu. Dia tidak mau dizinai oleh orang lain dengan masih memakai penutup kepalanya. Dia tak ingin merasa semakin berdosa dengan memakainya.

“Nggak, aku kepengen ngentotin kamu dengan masih pake jilbab. Nanti, aku juga pengen ngentot kamu dengan seragam dinasmu. Aku udah lama mimpiin ini Rum, aku makin nafsu kalau kamu berpakaian seperti itu, dan tanpa melepas jilbabmu.”

Arum berusaha meraih jilbabnya sendiri untuk melepaskannya, tapi tangannya ditahan oleh Jamal.

“Jangan melawan, atau aku bener-bener akan kasih tubuh kamu ini ke para begal itu. Mereka itu preman jalanan yang sering tidur sama pelacur pinggir jalan, tanpa pengaman. Entah mereka punya penyakit atau tidak. Coba kamu bayangin, seorang istri yang setia, istri yang alim seperti kamu, tiba-tiba terkena penyakit seksual, apa kata suamimu coba?”

Arum mendelik tak percaya dengan ucapan Jamal. Dia tak percaya betapa jahatnya orang yang sebelumnya sangat dia percaya dan hormati itu. Tapi di dalam hati Arum juga muncul ketakutan, kalau Jamal benar-benar melakukan ancamannya itu. Dia tak ingin terkena penyakit seperti apa yang dikatakan Jamal, sehingga perlahan perlawanannya pun runtuh sudah. Arum pasrah, dan hanya bisa menangis. Melawan sudah tak ada gunanya, vagina yang selalu dia jaga hanya untukku, telah berhasil dimasuki paksa oleh orang lain.

Kepasrahan Arum membuat Jamal tersenyum penuh kemenangan. Dia langsung menciumi wajah Arum. Bahkan tanpa merasa jijik, dia menjilati setiap air mata Arum yang mengalir dari matanya. Hal itu yang malah membuat Arum jijik. Sejurus kemudian Jamal mulai menggerakan pinggulnya maju mundur perlahan. Arum hanya bisa mengatupkan bibirnya rapat-rapat, menahan desahan dan rintihan. Dia masih merasakan sakit di liang kewanitaannya itu.

Tapi rupanya Jamal memang bukan anak kemarin sore, dia adalah lelaki yang berpengalaman dalam menaklukan wanita. Dia tahu bagaimana cara membuat wanita seperti Arum bertekuk lutut, kalah total kepadanya. Sambil terus menggenjot tubuh Arum, dia mulai merangsang bagian-bagian sensitif tubuh Arum. Mudah saja baginya untuk menemukan titik-titik rangsangan itu.

Dia jilatin daerah sekitar leher Arum, dia remas lembut kedua payudara Arum, dan dia mainkan kedua puting susunya yang masih berwarna cokelat muda itu. Dan lagi-lagi, Arum hanyalah seorang wanita biasa, dimana pengalaman seksnya hanya sebatas apa yang selama ini dia lakukan denganku. Dia dengan mudah terangsang oleh semua perbuatan Jamal, hingga tubuhnya mulai merespon gerakan pinggul Jamal.

Melihat hal itu Jamal semakin tersenyum lebar, sementara Arum semakin menangisi kekalahannya. Jamal mulai meningkatkan tempo goyangannya, dan gerakan penisnya semakin lancar karena vagina Arum juga sudah semakin basah. Rasa sakit yang tadi mendera Arum perlahan mulai menghilang, tapi dia masih berusaha keras untuk tidak memperlihatkannya. Dia masih mempertahankan statusnya sebagai istri setia, yang berusaha tidak menikmati saat sedang disetubuhi paksa oleh pria lain.

Dan sekali lagi, pertahanan Arum jebol lagi setelah sekitar 5 menit digoyang oleh Jamal dengan tempo yang sedang. Arum memalingkan wajahnya saat akan merasakan orgasme, tapi tangan Jamal menahannya, sehingga mau tak mau Arum memperlihatkan ekspresinya ketika orgasme kepada Jamal, dan itu semakin membuat Jamal bernafsu. Jamal tak memberi kesempatan kepada Arum untuk menikmati orgasmenya, tapi dia langsung menyerang Arum lagi dengan kecepatan yang lebih tinggi.

Arum kelabakan, desahannya mulai tak tertahan. Beberapa kali dia tak kuasa membiarkan desahannya terdengar oleh Jamal. Setiap desahan dari mulut Arum seperti perangsang bagi Jamal untuk terus meningkatkan temponya, hingga akhirnya 3 menit kemudian Arum kembali menyerah dalam birahinya.

“Ssssshhhhhh aaaaaaaaahhhhhhh...”

Kali ini Arum tak dapat menahan desahannya ketika orgasmenya melanda lagi. Dari lelaki yang bukan suaminya itu, dia sudah 4 kali orgasme, jumlah yang sama dengan yang biasa dia dapat saat bersetubuh denganku. Tapi bedanya, kalau biasanya Arum orgasme sebanyak itu dan aku sudah menyemburkan spermaku, saat ini Jamal terlihat belum apa-apa. Lelaki itu tersenyum penuh kemenangan melihat Arum susah payah mengatur nafasnya.

Jamal menghentikan gerakannya, kemudian mencium bibir Arum. Kali Arum membiarkan saja, dan sedikit membalas ciuman dari Jamal itu.

“Aku mau keluar, di dalam atau dimana?” bisik Jamal.

“Jangan, jangan di dalam, tolong jangan di dalam,” pinta Arum memelas.

Jamal tak menjawab, dia hanya tersenyum, lalu mencabut penisnya. Tak membuang waktu, Jamal membalikkan tubuh Arum hingga tengkurap. Dia tarik pantat Arum, lalu menaruh sebuah bantal untuk membuat pantat itu tetap menungging, karena Arum masih dalam keadaan lemas. Arum sudah pasrah akan dimasuki lagi vaginanya oleh Jamal, tapi kemudian dia terkejut saat merasakan sesuatu yang lain.

“Paaak, saya mohon, jangan disituu...” ucap Arum panik.

Arum panik karena merasakan sesuatu yang keras menggesek bibir analnya, bukan di bibir vaginanya. Arum tentu ketakutan, karena belum pernah sekalipun lubang belakang itu aku gunakan. Dia tak bisa membayangkan betapa sakitnya lubang yang sempit itu dimasuki penis Jamal yang begitu besar.

“Ooh, jadi yang disini masih perawan ya? Baiklah, malam ini akan aku perawani lubang belakangmu sayang, hahaha.”

“Jangan pak, jangaaaan...”

Permohonan Arum sama sekali tak digubris oleh Jamal. Dia terus saja mencoba memaksa menekankan kepala penisnya yang besar di lubang anus Arum yang masih sangat sempit. Arum berusaha menghindar, tapi kedua tangan Jamal dengan kuat memegangi pinggangnya. Apalagi saat ini tubuh Arum benar-benar masih lemah, efek dari minuman tadi, dan rasa lelah setelah dibuat berkali-kali orgasme oleh Jamal.

“Aaarrgghh sakiiiit.. udaah paaak, udaaah sakiiiiiittt...”

Teriakan Arum terdengar, namun tak terlalu keras karena masih lemah. Dia berteriak saat kepala penis Jamal berhasil membuka sedikit lubang pantat itu, dan itu sangat membuat Arum kesakitan. Jamal bukannya berhenti, malah terus melanjutkan aksinya. Penis itu perlahan-lahan semakin masuk. Arum semakin kesakitan, dia menjerit. Tangannya sampai meremas kuat sprei putih ranjang itu. Sementara itu Jamal juga meringis merasakan betapa ketatnya lubang pantat Arum mencengkram penisnya.

“Aaaahh bangsaaat, sempiit bangeeet...”

“Aaaaaaaarrrkkkkkhhhhh...”

Lengkingan jeritan Arum terdengar saat penis itu berhasil masuk sepenuhnya di lubang anus Arum. Dia menangis sejadi-jadinya. Rasa sakit yang teramat sangat, bahkan lebih sakit daripada saat aku perawani dulu, dan juga saat pertama kali tadi penis Jamal mempenetrasi lubang vaginanya.

Jamal mendiamkan penisnya sejenak, karena dia juga merasakan nyeri di penisnya. Tapi lebih daripada itu, Jamal merasakan kenikmatan yang tiada tara. Bahkan Jamal tertawa gembira saat melihat ada lelehan cairan merah yang keluar dari lubang anus Arum, darah.

Setelah beberapa saat mendiamkan penisnya, Jamal mulai bergerak maju mundur dengan perlahan. Dia tak peduli tangis kesakitan dari Arum, dia terus menjejalkan penisnya di lubang sempit yang baru saja dia perawani itu. Jamal bahkan beberapa kali memukul pantat Arum yang montok, meninggalkan bekas kemerahan disana.

Lima menit lebih Jamal memperkosa anus Arum, dan Arum sama sekali tak merasakan apapun selain rasa sakit yang teramat sangat. Arum belum berhenti menangis, dan Jamal belum berhenti bergoyang. Menit ke 8 gerakan Jamal mulai semakin liar. Arum tahu Jamal akan segera memuntahkan spermanya, tapi dia tak peduli, dia hanya bisa merasakan sakit yang teramat saat ini.

“Aaahhh Arruuumm, sayaaaaang, aku keluaaaaarrrr...”

Arum menutup erat bibirnya, saat dia rasakan cairan kental dan hangat beberapa kali menyembur di dalam lubang anusnya. Cukup banyak cairan itu keluar, hingga tak tertampung dan meluber keluar. Jamal pun tak berlama-lama membiarkan penisnya disitu, dia menariknya keluar, hingga cairan spermanya pun ikut mengalir keluar bersama dengan darah dari lubang anus Arum.

“Luar biasa, benar-benar nikmat Rum. Jauh melebihi apa yang aku kira. Tubuhmu benar-benar sempurna, benar-benar nikmat.”

Tak henti-hentinya Jamal memuji Arum. Tapi Arum yang tergolek tak berdaya masih terus menangis. Jamal membiarkannya saja, dia sendiri mengistirahatkan dirinya. Setelah cukup lama, Jamal mengangkat tubuh Arum ke kamar mandi. Sebelumnya dia menarik lepas jilbab Arum sehingga rambut panjangnya tergerai bebas.

Di dalam kamar mandi, Jamal memandikan tubuh Arum, membersihkan kedua lubang di pangkal pahanya. Arum merasakan perih saat air dari shower menyentuh lubang kemaluan dan anusnya, tapi dia tak bisa berbuat apa-apa, hanya pasrah dengan apa yang dilakukan oleh Jamal.

Setelah membersihka tubuh Arum, Jamal kembali mengangkat tubuhnya, dan membaringkannya lagi di ranjang. Barulah disitu Arum menyadari kalau dia masih berada di kamar Jamal, belum pindah ke kamarnya sendiri.

Setelah cukup pulih, Jamal meminta Arum untuk memakai kembali pakaiannya yang tadi, lengkap dengan jilbabnya. Tapi bukannya membiarkan Arum kembali ke kamar, Jamal kembali menyetubuhi Arum dengan hanya mengangkat ujung gaun panjangnya sampai ke pinggang dan menurunkan sedikit celana dalamnya Arum. Dia menyetubuhi Arum dari belakang, dengan posisi menghadap ke sebuah cermin besar. Arum dipaksa untuk melihat ke arah cermin itu, dipaksa untuk melihat bagaimana ekspresinya ketika sedang diperkosa oleh pria itu.

Malam itu, berulang kali Jamal menyetubuhi Arum hingga Arum tak sadarkan diri. Berbagai posisi mereka peragakan. Arum juga dipaksa untuk mengulum penis Jamal, sesuatu yang sangat jarang dia lakukan kepadaku. Jamal juga sampai mengeluarkan spermanya di dalam mulut, di dalam anus, di dalam vagina, dan di wajah Arum yang masih memakai jilbab. Permainan mereka baru berhenti saat menjelang subuh. Arum sudah tak sadarkan diri, dengan pakaian yang acak-acakan dan penuh dengan bercak sperma.

Siang harinya mereka terbangun sekitar jam 10. Arum kembali menangis mendapati dirinya terbangun dalam dekapan Jamal yang masih telanjang. Tangisan Arum rupanya membangunkan Jamal. Dia mencium mesra bibir Arum, tanpa mendapat balasan dari Arum.

Akhirnya Arum diijinkan untuk kembali ke kamarnya, untuk bersih-bersih dan sekalian siap-siap untuk pulang. Sebelum pulang meninggalkan hotel itu, Arum kembali dipanggil oleh Jamal ke kamarnya. Arum mengira Jamal akan menyetubuhinya sekali lagi, tapi ternyata bukan itu. Arum dipanggil Jamal untuk diperlihatkan sesuatu yang lebih mengerikan lagi.

Arum terkejut bukan main saat Jamal memperlihatkan sebuah kamera yang menampilkan adegan persetubuhan mereka. Dia baru sadar kalau apa yang menimpanya itu ternyata direkam oleh Jamal. Hatinya semakin hancur, karena dia yakin Jamal akan menggunakan video itu untuk mengancamnya di kemudian Hari.

“Kamu tahu kan apa yang harus dilakukan agar video ini tak sampai tersebar?”

Arum hanya mengangguk, dan mendapat balasan tawa memuakkan dari Jamal.

Setelah itu mereka langsung pulang. Perjalanan memakan waktu 3 jam lamanya. Sampai di depan rumahku, Arum tak langsung turun karena masih mengulum penis Jamal. Ya, selama perjalanan, terutama saat sudah mendekati daerah rumahku, Jamal meminta Arum untuk mengulum penisnya sampai keluar. Dan ketika lelaki itu menyemburkan spermanya ke mulut istriku, yang mau tak mau harus tertelan semua, barulah Arum dipersilahkan turun.

Setelah Jamal pulang, Arum langsung masuk dan menyalamiku yang sedang lembur mengerjakan tugas dari bosku. Aku awalnya tak begitu memperhatikannya. Barulah setelah selesai pekerjaanku, kuperhatikan cara jalan Arum agak aneh. Setelah kupaksa cerita, akhirnya dia menceritakan semua ini secara gamblang.

Betapa hancurnya hatiku mendengar itu semua. Arum menangis tersedu-sedu dan berkali-kali minta maaf kepadaku. Jelas saja aku memaafkannya, karena ini sama sekali bukan salahnya. Ini salah Jamal, si bajingan keparat itu. Tapi ini juga salahku. Kalau saja aku tidak memberinya ijin untuk pergi, tidak mungkin dia mengalami nasib semalang ini. Tapi kalaupun aku tidak mengijinkannya, Jamal pasti punya cara lain untuk bisa menjebak Arum.

Setelah emosiku turun, akupun memeluk istriku, yang tampak masih takut-takut kepadaku. Aku berusaha menenangkannya, meskipun hatiku sendiri sedang dibakar oleh amarah. Aku berjanji akan membuat perhitungan dengan Jamal, entah bagaimanapun nanti caranya. Apalagi kata Arum, dia bukanlah satu-satunya wanita yang sudah dijebak oleh Jamal. Selain dirinya, ada beberapa lagi teman kantornya, yang juga dijebak dengan berbagai cara, tapi kebanyakan seperti yang dialami oleh Arum.

Arum baru tahu itu tadi dalam perjalanan, Jamal menceritakannya. Dan dari semua wanita yang sudah berhasil ditaklukan oleh Jamal itu, sampai sekarang masih terus melayani setiap kali Jamal meminta. Mereka, sama seperti Arum, tak punya pilihan lain karena takut dengan ancaman video itu. Hanya saja, cuma Arum yang mungkin berani mengatakan hal ini kepada suaminya, yaitu aku.

“Udah umi, abi janji pasti akan buat perhitungan dengan lelaki biadab itu.”

“Tapi gimana bi? Umi takut nanti abi kenapa kenapa.”

“Abi juga belum tahu, tapi yang pasti abi nggak akan tinggal diam. Umi nggak usah khawatir sama abi, mungkin nanti abi akan buat perhitungan, tapi dengan bantuan orang lain, jadi abi nggak akan kenapa kenapa. Yang penting, umi sekarang tenangin diri dulu ya?”

Arum hanya mengangguk. Aku terus menemaninya sampai dia tertidur. Dalam benakku, aku masih bingung dengan apa yang akan kulakukan. Tapi bisa kupastikan, aku tidak akan tinggal diam saja, aku akan menuntut balas pada lelaki jahanam itu, akan kubuat dia menyesal karena telah berani menyentuh istriku.

Hari ini akhirnya aku masuk kerja lagi. Setelah peristiwa itu, aku memang ijin tidak masuk kerja selama 3 hari. Aku beralasan sakit, karena memang benar-benar sakit, baik fisik maupun hatiku, juga kehormatanku. Bahkan sebenarnya saat ini aku juga masih merasakan sakit di bagian vital tubuhku, tapi paling tidak aku sudah tidak tertatih-tatih lagi kalau berjalan.

Aku sebenarnya masih takut masuk kerja, aku tak bisa membayangkan bagaimana kalau bertemu dengan pak Jamal. Entah seperti apa nanti ekspresi wajahnya saat melihatku. Aku takut dia meminta untuk mengulangi perbuatan itu lagi. Aku tidak ingin sampai itu terulang lagi, meskipun kemungkinannya kecil. Aku tahu, dengan memiliki video persetubuhan kami pak Jamal pasti akan mengancamku untuk menuruti kemauannya lagi. Eh tunggu, bukan persetubuhan kami, tapi pemerkosaan yang dia lakukan kepadaku. Aku tak rela menyebutnya persetubuhan, karena aku sama sekali tak menginginkannya.

Harus kuakui, malam itu tubuhku menghianatiku. Tubuhku bereaksi dengan setiap sentuhan dari pak Jamal. Tapi aku sangat yakin, itu semua karena dia memberiku sesuatu, entah apa aku tak tahu. Dan harus kuakui juga kalau aku sempat menikmatinya, tapi ketika semua itu berakhir, hanya penyesalan dan rasa sakit hati yang kurasakan.

Satu hal yang paling kutakutkan dari perbuatan kami malam itu adalah kalau aku sampai hamil. Malam itu berkali-kali pak Jamal menumpahkan spermanya di dalam rahimku. Malam itu memang aku sedang tidak berada dalam masa suburku, tapi siapa tahu saja dengan begitu banyaknya sperma pak Jamal yang masuk ke rahimku, bisa saja membuahiku. Aku benar-benar tak rela jika harus hamil karena perbuatannya, meskipun kalau sampai benar-benar hamil aku tak tahu apa yang akan kulakukan.

Karena hal itulah, kemarin tanpa sepengetahuan suamiku, aku pergi ke seorang dokter kandungan yang tak lain adalah temanku semasa sekolah dulu. Awalnya dia kaget karena aku bertanya tentang KB, karena aku dan mas Krisna sendiri belum memiliki anak. Apalagi dia sempat curiga kepadaku karena aku datang sendirian, tidak didampingi mas Krisna. Tapi aku beralasan kalau kami sepakat untuk menunda dulu punya momongan karena mas Krisna sedang fokus mengejar karirnya, dan semua itu sudah atas persetujuan mas Krisna. Untungnya dia percaya, dan tidak bertanya macam-macam lagi.

Temanku itu menyarankan agar aku meminum pil KB saja saat akan berhubungan badan, tidak perlu memasang spiral atau semacamnya karena takutnya akan mempengaruhi kesuburanku sendiri. Aku sendiri setuju dengan saran itu, karena kalau disarankan untuk menggunakan kondom, jelas tidak akan ada gunanya. Pak Jamal mana mau menggunakannya.

Dan akhirnya, hari ini aku berangkat kerja diantar oleh suamiku. Dia sebenarnya bertanya apakah aku sudah yakin untuk masuk kerja, tapi aku bilang aku tak enak jika terlalu lama tak masuk kerja. Aku takut teman-teman kantorku akan curiga, apalagi kata pak Jamal, selain aku ada juga orang lain yang mengalami hal serupa dengan apa yang aku alami, yang entah siapa orangnya aku juga belum tahu, pak Jamal tak memberitahuku.

Sampai di kantor, aku disambut oleh teman-temanku. Mereka berbasa-basi menanyakan aku kemarin sakit apa, dan apakah sekarang sudah sembuh benar. Aku jawab sesuai dengan apa yang sudah aku persiapkan dari rumah. Aku yang semula takut akan bertemu lagi dengan pak Jamal, hari itu bisa bernafas lega karena ternyata pak Jamal tidak masuk, karena sedang dinas di luar kota sejak kemarin. Yah, paling tidak aku tidak akan bertemu dengannya sampai minggu depan.

Hari ini kulalui dengan biasa-biasa saja. Pekerjaan yang tertunda karena aku tak masuk juga sudah beres, karena kemarin sempat dikerjakan oleh temanku. Selama di kantor ini, beberapa kali aku memperhatikan temanku yang perempuan, menerka-nerka siapa sebenarnya yang dimaksud oleh pak Jamal, yang juga berhasil dia perdaya untuk menyerahkan tubuhnya. Tapi tentu saja aku tidak bisa mengetahuinya. Bertanya pada mereka? Itu adalah sebuah hal konyol yang tak akan aku lakukan, karena malah bisa membuat mereka tahu apa yang terjadi padaku, dan betapa malunya aku kalau sampai teman-temanku tahu.

Sore ini kembali mas Krisna menjemputku. Sepanjang perjalanan aku cerita kalau hari ini aku merasa lega tak harus ketemu dengan pak Jamal. Suamiku juga terlihat senang akan hal itu. Sesampainya di rumah, kami beraktivitas seperti biasa. Aku menyiapkan makan malam untuk suamiku. Aku senang karena dia selalu lahap memakan masakanku. Sebuah kebahagiaan tersendiri melihat suami menyukai apa yang kita masak. Meskipun begitu, di dalam hati aku menjerit, mengutuk diriku yang tak bisa menjaga diri dan kehormatanku sebagai istri mas Krisna.

Aku tahu suamiku tak pernah menyalahkanku dalam hal ini, tapi tetap saja perasaan bersalah ini tak bisa dihilangkan begitu saja. Aku kembali teringat dengan ucapan suamiku tempo hari, yang mengatakan untuk memberi pelajaran kepada pak Jamal. Aku belum tahu apa yang akan dilakukan oleh suamiku, tapi takut suamiku akan berbuat nekat dan malah membahayakan dirinya sendiri.

“Hmm, abi..”

“Iya umi, ada apa?”

“Itu, soal kata-kata abi kemarin, yang katanya mau balas dendan ke pak Jamal.”

“Oh itu, iya kenapa umi?”

“Emang abi mau ngapain? Apa yang akan abi lakukan? Jujur, umi takut.”

“Takut apa umi?”

“Umi takut kalau abi berbuat yang tidak-tidak. Umi takut kalau abi malah nanti yang kenapa-napa.”

“Lho kok umi ngomong gitu?”

“Iya bi. Soalnya, pak Jamal itu kan punya anak buah preman. Abi taulah, preman itu kayak gimana. Umi takut aja kalau nanti abi kenapa-napa.”

“Hmm, umi tenang aja. Abi memang marah dengan pria biadab itu, tapi abi juga nggak akan ambil langkah konyol.”

“Syukurlah kalau gitu. Tapi kalau umi boleh tau, apa yang akan abi lakukan?”

“Terus terang umi, sampai sekarang abi masih terus mikirn. Abi belum tau mau ngapain. Abi sempat kepikiran mau minta tolong sama orang buat ngasih pelajaran ke si Jamal itu. Tapi setelah abi pikir lagi, minta tolong sama orang, artinya abi harus ceritain semuanya ke orang itu. Abi masih ragu, abi nggak mau sampai aib kita ini diketahui oleh orang lain.”

Iya juga ya, benar apa yang dikatakan mas Krisna. Meminta bantuan pada orang lain, tentunya akan lebih mudah bagi mas krisna untuk membalas dendam. Tapi itu juga berarti harus menceritakan aib yang kualami. Aku belum siap kalau ada orang lain yang tahu tentang apa yang kualami ini. Mas Krisna sendiri pasti juga tidak mau aib ini sampai diketahui oleh orang lain. Tapi kalau memang tidak begitu, apa mungkin mas Krisna mau melakukannya sendirian? Jelas tidak mungkin. Mas Krisna hanyalah pria biasa, seperti kebanyakan pria lain. Melakukan hal yang nekat sendirian melawan pak Jamal yang punya anak buah preman, hanya akan berakhir konyol untuknya.

“Abi..”

“Iya mi?”

“Apapun yang mau abi lakuin, umi mohon jangan nekat sendirian. Umi bener-bener takut kalau abi kenapa-napa.”

Mas Krisna tersenyum lembut padaku, dia membelai rambutku dengan lembut.

“Umi tenang aja, abi tau kok. Meskipun abi nggak terima dengan semua ini, tapi abi tau harus cari cara yang pas buat menghadapi si Jamal itu. Abi juga nggak mau mati konyol.”

Aku memeluk tubuh suamiku dengan erat, mendapat balasan serupa darinya.

“Umi..”

“Iya bi?”

“Kalau misalnya, abi terpaksa harus minta tolong sama orang, dan harus menceritakan semua ini, apa umi keberatan?”

Aku tak langsung menjawab. Kulepaskan pelukanku dari tubuh mas Krisna.

“Hmm, sebenarnya umi nggak mau bi, umi nggak siap. Tapi, kalau boleh tau, abi mau minta tolong siapa?”

“Abi juga belum tau mi, tapi yang pasti bukan ke sembarang orang, karena ini menyangkut kehormatan umi. Paling tidak, orang itu adalah orang yang udah kita kenal baik, dan nggak akan memanfaatkan balik situasi ini.”

“Kalau memang begitu, umi setuju asalkan abi bisa dapet orang yang seperti itu.”

Mas Krisna kembali merengkuh tubuhku. Sepertinya memang harus begitu. Harus minta tolong pada orang yang benar-benar sudah kami kenal baik, yang bisa kami pastikan tidak akan memanfaatkan situasi ini untuk mengambil keuntungan. Tapi siapa orangnya? Aku sama sekali tak punya gambaran. Mungkin mas Krisna punya, tapi entahlah dia belum memberitahukannya. Aku hanya berharap, entah apapun yang akan dilakukan mas Krisna, semua ini akan berakhir baik untuk kami.

Tak terasa beberapa hari ini terlewati dengan lancar. Tidak adanya pak Jamal di kantor membuatku bisa bersikap normal tanpa dibuat-buat di depan teman-temanku. Rasa sakit yang kurasakan di bagian intimku juga sudah hilang. Tapi meski begitu, mas Krisna belum menyentuhku. Katanya, dia takut aku masih trauma atau sakit, jadi membiarkanku dulu sampai benar-benar pulih. Aku sendiri juga tidak tahu, apakah sudah bisa melayani suamiku seperti sebelumnya atau belum, karena memang kadang aku masih terbayang kejadian malam itu.

Sampai akhirnya hari senin pak Jamal sudah masuk lagi di kantor. Aku sempat gugup bertemu dengannya, bingung bagaimana harus bersikap. Tapi ekspresi pak Jamal biasa-biasa saja. Dia malah membawakan oleh-oleh yang lumayan banyak untuk kami semua di kantor. Sikapnya kulihat juga tak ada yang berubah, masih seperti pak Jamal yang biasanya. Aku juga sempat memperhatikan teman-teman kantorku yang perempuan saat mereka berinteraksi dengan pak Jamal, tapi semua bersikap biasa-biasa saja. Aku jadi bertanya-tanya, benarkah ada wanita lain di kantor ini yang sudah dijebak oleh pak Jamal? Atau itu hanya karangan pak Jamal saja? Atau justru mereka yang sudah dijebak oleh pak Jamal juga sedang berpura-pura biasa didepannya? Entahlah, aku benar-benar tak tahu.

Selama beberapa hari sejak pak Jamal masuk lagi, tidak ada hal apapun yang terjadi. Pak Jamal benar-benar bersikap biasa. Bahkan tak sekalipun dia mencoba untuk mengisengiku. Semua yang kami lakukan di kantor adalah murni urusan pekerjaan. Sempat aku dipanggil ke ruangannya, aku pikir dia akan berbuat tidak senonoh padaku, tapi ternyata tidak. Benar-benar hanya urusan pekerjaan.

Melihat itu semua aku jadi lega, sekaligus jijik. Lega karena pak Jamal tidak melecehkanku sama sekali ketika di kantor. Dan jijik dengan sikap pura-puranya itu. Dia bersikap layaknya seorang pemimpin yang baik dan bijaksana, tapi di balik itu dia adalah seorang bajingan yang sudah tega melecehkan anak buahnya sendiri.

Tapi meskipun begitu, aku harus selalu waspada. Setiap hari obat KB yang diberikan oleh temanku tempo hari selalu kubawa di tasku, berjaga-jaga kalau seandainya pak Jamal ingin melakukan sesuatu padaku. Kemarin waktu aku dipanggil ke ruangannya saja, sempat kuminum dulu pil itu, meskipun akhirnya tidak terjadi apa-apa.

Sampai suatu hari, sore hari sebelum kami pulang, pak Jamal tiba-tiba keluar ruangan dan mendatangi mejaku. Kebetulan saat itu hanya tinggal aku dan temanku yang bernama Sarah yang masih ada disitu, sedangkan teman-temanku yang lain sudah berada di luar kantor, bersiap untuk pulang. Pak Jamal membawa setumpuk berkas, kemudian meletakkannya di meja Sarah, yang berada di samping mejaku.

“Sar, dokumen-dokumen ini tolong besok kami selesain ya? Besok aku dan Arum nggak masuk, kami ada urusan di luar.”

Aku kaget mendengar ucapan pak Jamal karena sebelumnya dia tidak ngomong apapun soal hal ini. Sarahpun juga terlihat terkejut, lalu melihat ke arahku dengan tatapan bertanya-tanya.

“Rum, besok aku jemput di rumahmu jam 8. Tetep pake seragam dinas ya?”

Tanpa menunggu jawabanku, pak Jamal langsung pergi meninggalkan kami berdua. Aku masih bingung, dan terlihat Sarah juga bingung melihatku.

“Emang besok mau kemana Rum?” tanya Sarah setelah pak Jamal keluar dari ruangan ini.

“Hmm, aku juga nggak tau Sar, pak Jamal nggak bilang apa-apa tadi.”

Dia sempat diam sejenak, tapi kemudian dia tersenyum.

“Kamu kena juga sama dia?” tanyanya, membuatku sangat kaget.

“Eh, maksudmu Sar?”

“2 minggu lalu, waktu kamu keluar kota sama pak Jamal, terjadi sesuatu kan?”

Aku diam tak menjawab. Kenapa Sarah bisa menebak kearah itu? Atau jangan-jangan, Sarah juga...

“Kalau iya, berarti nasib kita sama,” ucapnya perlahan, lalu menatap layar handphonenya.

“Maksudmu Sar?” tanyaku, mencoba memastikan.

“Jawab dulu pertanyaanku, apa benar terjadi sesuatu waktu kamu pergi sama dia?”

“Hmm,,, iya...” jawabku ragu-ragu.

Kulihat Sarah kemudian tersenyum, lalu meletakkan handphonenya dan melihat lagi ke arahku.

“Aku juga. Kamu inget aku pernah nggak masuk selama 2 hari? Itu gara-gara aku mengalami hal yang sama seperti kamu.”

“Maksudmu, kamu juga di...”

“Iya, aku diperkosa sama dia.”

Betapa terkejutnya aku mendengar pengakuan dari Sarah. Kemudian dengan gamblang dia menceritakan bagaimana pak Jamal memperkosanya. Rupanya caranya hampir sama dengan yang aku alami, dengan memanfaatkan preman-preman suruhan pak Jamal. Tapi situasinya berbeda, tidak seperti aku yang sampai diajak keluar kota. Sarah diperkosa di rumahnya sendiri, itu karena dia memang tinggal sendiri karena suaminya bekerja dan tinggal di kota lain, dan hanya pulang seminggu sekali tiap weekend.

“Setelah hari itu, sudah berkali-kali aku terpaksa melayani nafsunya. Aku nggak punya pilihan lain. Dia punya rekaman persetubuhan kami, yang akan dia sebar kalau aku tidak menurutinya.”

“Apa kamu nggak bilang sama suamimu Sar?”

“Gila apa? Kalau aku bilang, malah yang ada aku dicerai sama suamiku. Enggaklah Rum, aku nggak berani bilang. Jangan-jangan, kamu bilang sama suamimu ya?”

Aku mengangguk.

“Iya, aku terpaksa bilang, karena sehabis aku diperkosa itu, suamiku bisa melihatku kesakitan. Dia maksa buat cerita, mau nggak mau aku ceritain sama dia.”

“Terus, apa reaksi suamimu?”

“Ya jelas dia marah. Dia bilang malah mau balas dendam.”

“Oh ya? Mau ngapain dia?”

“Aku juga nggak tau, dia sendiri masih bingung.”

“Hati-hati lho Rum, kamu tau kan pak Jamal punya anak buah preman?”

“Iya, itu juga yang aku bilang ke suamiku, makanya sampai sekarang dia juga masih bingung. Eh, tapi jangan bilang ini ke siapa-siapa ya Sar, termasuk pak Jamal sendiri.”

“Iya tenang aja. Kalaupun suami kamu berhasil balas dendam, aku juga malah senang, kalau bisa lepas dari pak Jamal. Yang penting, hati-hati aja.”

“Iya Sar, makasih. Hmm, oh iya, selain kamu, dan aku, kamu tau nggak siapa lagi yang bernasib seperti kita? Pak Jamal pernah bilang ada beberapa orang kantor yang udah dia jebak.”

“Aku juga nggak tau Rum. Malah dia nggak pernah cerita apa-apa sama aku. Ini aja aku kaget karena ternyata kamu kena juga sama dia.”

Kami berdua kemudian terdiam. Ternyata benar, selain aku ada orang lain lagi yang masuk dalam perangkap pak Jamal, dan itu adalah Sarah. Sarah ini seumuran denganku. Dia belum lama menikah, dan belum punya anak juga. Berarti belum lama juga dia masuk dalam perangkap pak Jamal. Sarah ini orangnya cantik, penampilannya lebih modis jika dibandingkan denganku. Dia termasuk salah satu primadona di kantor ini, meskipun kata orang, aku lebih cantik darinya. Hanya saja, tubuh Sarah memang terlihat lebih seksi jika dibandingkan denganku, pantas saja pak Jamal mengincarnya.

Lamunanku terhenti saat ada panggilan masuk di handphoneku, ternyata suamiku menelpon dan bilang kalau dia sudah ada di depan kantor menjemputku. Kebetulan Sarah hari ini tidak membawa kendaraan, karena itu sekalian ku ajak pulang. Kami memang pernah beberapa kali pulang bareng, biasanya aku memboncengnya kalau aku bawa motor.

Sampai di rumah, aku tak menceritakan yang tadi kepada mas Krisna. Sebenarnya aku sudah berniat untuk cerita, tapi setelah kulihat mas Krisna langsung sibuk dengan pekerjaannya, terpaksa kuurungkan, aku tak mau menambah beban pikirannya. Aku sendiri masih bingung membayangkan, apa yang akan terjadi besok.

Keesokan harinya, seperti biasa aku bangun lebih dulu dari mas Krisna. Setelah mandi aku siapkan sarapan untuknya, baru dia kubangunkan. Dia masih terlihat mengantuk karena semalam lembur sampai larut. Setelah dia selesai mandi dan berganti pakaian, kami sarapan bersama.

“Umi, hari ini abi harus berangkat pagi, ada meeting soalnya. Umi bisa berangkat sendiri?”

“Oh iya bi, nggak papa, nanti umi pake motor aja.”

“Maaf ya umi. Nanti juga kayaknya abi bakal telat pulangnya.”

“Iya bi nggak papa. Emang meeting apa sih bi?”

“Hari ini ada audit mi. Pagi ini kami nyiapin dulu, nah nanti siang baru mulai audit. Yah umi taulah kalau audit kan biasanya sampai malem gitu.”

“Ooh iya. Kayak bulan-bulan kemarin ya bi?”

“Iya mi.”

Memang setiap 2 bulan sekali, di kantor suamiku diadakan audit. Waktunya tidak menentu, karena itulah kadang membuat suamiku tiba-tiba harus lembur menyiapkannya. Dan di hari audit, biasanya memang cukup lama sehingga suamiku akan pulang malam. Bahkan pernah sekali, jam 12 malam mas Krisna baru sampai rumah.

Tapi aku bersyukur karena tak perlu lagi mencari alasan untuk berangkat sendiri. Aku nggak tahu harus beralasan apa, tidak mungkin aku bilang kalau pak Jamal akan menjemputku, bisa-bisa buyar konsentrasi mas Krisna di pekerjaanna nanti.

Setelah sarapan, tak menunggu lama mas Krisna langsung berangkat. Aku membereskan sisa-sisa sarapan kami, kemudian aku berganti pakaian. Seperti pesan pak Jamal kemarin, aku tetap memakai pakaian dinas, meskipun hari ini tidak akan masuk kantor. Entah akan dibawa kemana aku oleh pak Jamal, tapi yang aku tahu aku tak bisa menolaknya. Setelah berpakaian dan berdandan seadanya, tak lupa kuminum pil KB yang aku punya, untuk berjaga-jaga.

Sekitar jam 8 lewat kudengar suara mobil berhenti di depan rumahku. Kuintip dari jendela, itu mobil pak Jamal. Dengan dada berdegup kencang aku keluar dari rumah, mengunci pintu lalu menghampiri mobil itu. Langsung saja aku masuk ke mobil, duduk di samping pak Jamal.

“Udah siap?” tanyanya.

“Kita mau kemana pak? Dan mau ngapain?”

“Kita ke rumahku. Kalau tentang mau ngapain, kamu udah tau kan jawabannya?”

“Pak, saya mohon pak, jangan kayak gini. Saya nggak mau menghianati suami saya lebih jauh lagi. Apa yang kemarin bapak lakuin ke saya itu nggak cukup?”

“Haha, Arum Arum. Mana pernah cukup menikmati tubuh indahmu itu? Lagian, sepertinya kamu nggak nolak kan? Buktinya, kamu nggak berangkat ke kantor, dan tetep pake seragam dinas seperti kataku kemarin? Padahal kamu pasti sudah tau, apa yang aku mau dari kamu. Atau jangan-jangan, kamunya juga mau? Kamu kangen ya sama kontolku? Haha.”

“Bukan gitu! Memang saya punya pilihan buat nolak?!” ucapku agak kencang. Aku tak terima dengan kata-katanya.

“Haha, berarti kamu pintar. Kamu tau nggak punya pilihan lain. Ya sudah, kita berangkat saja. Aku udah kangen sama memek kamu.”

Sialan! Pria ini benar-benar menjijikan. Sevulgar itu dia ngomong sama aku. Memang dia sudah berhasil memperdayaiku, menikmati tubuhku. Tapi kata-kata itu sungguh terdengar tak sopan di telingaku, benar-benar melecehkan.

Tapi aku hanya bisa diam saja, tak mau menjawab apapun. Mobilpun kemudian melaju, dan akhirnya masuk ke sebuah kawasan perumahan elit di kota ini. Jujur ini pertama kalinya aku ke rumah pak Jamal, aku memang belum tahu dimana rumahnya. Pernah beberapa bulan lalu pak Jamal mengadakan acara di rumahnya, tapi aku tak bisa datang karena ada acara keluarga dengan mas Krisna di luar kota.

Mobil kemudian masuk ke halaman sebuah rumah yang letaknya berada agak di ujung. Kulihat di halaman rumah itu sudah terparkir sebuah mobil lagi, dengan plat nomer luar kota. Aku tak tahu itu mobil siapa. Apa mungkin mobil istrinya pak Jamal? Tapi kalau memang ada istrinnya, kenapa dia malah mengajakku ke rumahnya? Bukan ke tempat lain? Ataukah mungkin ini mobil orang lain? Kalau memang ada orang lain, apa maksud pak Jamal mengajakku kemari? Apa dia berniat untuk menyuruhku melayani orang lain juga? Iih, membayangkannya saja aku sudah ngeri. Semoga saja tidak. Semoga saja itu adalah mobil pak Jamal sendiri.

“Ayo sayang, turun. Kita udah ditunggu.”

Deg. Sudah ditunggu? Jadi benar ada orang lain di rumah ini? Tapi siapa? Apa maksudnya ini?

“Maksud bapak apa? Siapa yang nunggu? Apa yang pak Jamal mau sebenarnya? Jangan macam-macam pak, saya nggak mau!”

“Udahlah, kamu itu udah jadi budakku sekarang. Yang bisa kamu lakuin hanya menuruti apa yang menjadi perintahku, itu saja. Udah ayo cepet!”

Pak Jamal lalu menarik tanganku. Mau tak mau aku terpaksa mengikutinya. Aku bertanya-tanya, siapakah yang sedang menunggu kami? Dan apa yang yang akan dilakukan oleh pak Jamal kepadaku? Begitu pintu dibuka, aku terkejut melihat siapa yang sedang duduk di ruang tamu. Aku menatap tak percaya ke arah ruang tamu dan pak Jamal bergantian. Apa maksudnya ini?

Hari ini aku terpaksa berbohong kepada istriku, Arum. Sebenarnya hari ini aku tidak masuk kerja, tidak ada audit juga. Hari ini aku ada janji untuk bertemu dengan seseorang, yang akan aku mintai bantuan untuk memberi pelajaran kepada si Jamal brengsek itu, pria bajingan yang sudah memperkosa istriku.

Hari inipun aku mengajukan cuti ke kantor. Aku tidak mengarahkan mobilku ke kantor, tapi ke arah luar kota, tempat aku berjanji bertemu dengan orang itu. Dia ini tak lain adalah teman lamaku. Temanku semasa sekolah dulu, dari SD sampai SMA. Sudah lama kami tidak bertemu sejak kami lulus SMA, karena aku melanjutkan kuliah di luar kota, sedangkan dia ternyata masuk ke kepolisian.

Sebelumnya aku juga tak pernah mendengar kabar darinya, sampai beberapa hari yang lalu aku dan dia secara tak sengaja bertemu. Saat itu dia sedang berada di kota ini karena tugas dari tempatnya bekerja, sedangkan aku sedang makan siang dengan teman-temanku. Aku sangat pangling dengannya. Saat dia menyapaku, butuh waktu beberapa detik sampai akhirnya aku bisa mengenali wajahnya.

Penampilannya benar-benar berbeda sekarang ini, sangat jauh dari yang kutahu selama ini. Dulu dia adalah seorang gadis yang sangat feminim dengan rambut panjangnya yang indah. Sekarang, rambutnya sudah dipotong pendek, seperti aturan di kepolisian. Ya benar, dia adalah seorang polwan. Namanya Inggrid Oktavia. Orang-orang kebanyakan memanggilnya Via, tapi aku lebih sering memanggilnya Iing. Dan sepertinya, memang hanya aku yang memanggilnya seperti itu.

Aku dan Iing berteman sejak kecil, dan sudah sangat dekat sampai akhirnya kami terpisah sejak lulus SMA. Sejak saat itu aku tak pernah berkomunikasi lagi dengannya, bahkan nomernya saja aku tak punya.

Awalnya aku tak punya pertolongan kepadanya untuk masalah yang sedang dihadapi oleh Arum. Aku tak melihat peluang Iing bisa membantuku. Bukan meremehkan, meskipun polisi, tapi dia tetaplah seorang wanita. Bagaimana dia bisa menghadapi Jamal? Kalau hanya Jamal sendiri, mungkin masih bisa, tapi kalau sudah berurusan dengan anak buahnya juga, mana bisa Iing sendiri? Dia pasti minta tolong rekannya. Dengan begitu, pasti apa yang terjadi pada istriku ini akan menyebar luas.

Tapi setelah berkomunikasi dengannya melalui handphone, baru aku tahu kalau Iing ini ternyata sekarang masuk di bagian intelegen. Dulunya malah pernah di bagian kriminal dan sudah beberapa kali berurusan dengan penjahat kelas kakap. Dia juga cerita kalau pernah menangkap 4 orang sekaligus sendirian. Meskipun berakhir dengan penuh luka, tapi dia berhasil melumpuhkan keempat orang itu. Hal itu membuatku jadi kepikiran, bagaimana kalau aku minta bantuan ke Iing saja.

Karena saat ini Iing bertugas di kota lain, makanya mau tak mau aku harus kesana untuk menemuinya, menceritakan apa yang ingin aku sampaikan. Sebenarnya dari kemarin Iing sudah memaksaku cerita waktu aku bilang mau minta tolong padanya, tapi aku tak mau cerita lewat telpon atau chating, aku ingin bertemu langsung dengannya.

Karena masih cukup pagi dan belum terlalu macet, sekitar 3 jam perjalanan sampai akhirnya aku sampai di kota itu. Aku langsung menuju ke tempat yang menjadi tempat kami janjian ketemu. Sampai disana kulihat bersamaan dengan Iing yang baru sampai dan baru turun dari motornya. Hari ini dia tidak memakai seragam dinasnya, hanya berpakian casual dengan celana jeans ketat yang membungkus kaki jenjangnya, juga sebuah jaket yang membungkus tubuh atasnya.

“Hei baru sampai?” tanyaku dari belakang mengagetkannya.

“Eh Krisna. Iya nih, kamu juga baru sampai ya?”

“Iya.”

“Yaudah yuk ke dalem, sekalian sarapan.”

“Oke.”

Kami memang janjian di sebuah rumah makan di kota ini. Sampai di dalam kami langsung memesan menu untuk sarapan. Kami hanya berbasa-basi saja, sambil menikmati sarapan kami.

Oh iya, meskipun dia ini seusia denganku, yaitu 29 tahun, ternyata dia belum menikah. Sebenarnya dulu sudah punya calon, sudah lamaran juga, tapi beberapa minggu sebelum hari pernikahan, calon suaminya yang juga seorang polisi tewas saat penggerebekan sebuah komplotan begal. Saat itu terjadi baku tembak yang menyebabkan 3 orang polisi tewas, salah satunya adalah calon suami Iing. Sejak saat itu, dia benar-benar tepukul dan merasa kehilangan. Sempat lama sekali dia menutup hatinya untuk orang lain.

“Ing, ini beneran nggak ada yang marah kan kita ketemuan?”

“Haha, aku kan udah bilang Kris kalau aku belum nikah.”

“Ya tapi, emang belum ada yang, hmm, menggantikannya? Sampai sekarang?”

“Ada sih. Maksudnya, yang deket ada, tapi kami nggak pacaran. Aku bilang sama dia kalau emang serius, yang langsung lamar.”

“Oh gitu, terus, kapan mau nikahnya? Inget umur lho Ing, bentar lagi 30.”

“Iya. Kalau nggak ada halangan sih, mungkin sekitar 4 bulan lagi. Sekarang dia lagi pendidikan soalnya, mau kenaikan pangkat.”

“Oh gitu. Oh iya, pangkatmu udah tinggi dong ya sekarang?”

“Hehe, ya lumayan lah. Tapi ngomong-ngomong nih, istrimu tau nggak kamu kesini? Jangan-jangan kamu bohong ya? Pasti nggak bilang kalau mau ketemuan sama aku?”

“Hmm, yaa sebenarnya itu yang mau aku bicarain sama kamu Ing, yang mau aku mintain tolong.”

“Oh gitu. Emang kamu mau minta tolong apaan sih?”

“Hmm, disini aman nggak Ing? Soalnya ini penting, rahasia.”

Iing melihat ke sekeliling. Rumah makan ini memang cukup ramai.

“Atau kamu mau kita pindah tempat, cari yang lebih private supaya kamu bisa bebas cerita?”

“Ya aku sih mau aja, tapi dimana?”

“Hmm, dimana ya. Di rumahku nggak mungkin sih, entar malah digrebek kita.”

Dia terlihat berpikir, mencari tempat yang kiranya pas untukku menyampaikan maksud kedatanganku menemuinya.

“Hmm, kita ke daerah atas aja gimana Kris?”

“Daerah atas?”

“Iya, disana ada cotage-cotage gitu, yang bisa disewa.”

“Lah, masak ke cotage? Entar dikira kita mau macem-macem lagi?”

“Haha, ya kamunya jangan macem-macem lah, kalau nggak mau aku hajar.”

“Haha, ya mana berani aku sama kamu Ing. 4 penjahat aja kamu lumpuhin, apalagi aku yang nggak bisa apa-apa.”

“Haha makanya itu. Gimana mau nggak?”

“Ya udah deh, aku ngikut aja. Terus kita kesananya gimana? Pake mobilku aja?”

“Iya, aku nitipin motor aja dulu di tempat temen.”

“Tapi aman kan? Maksudku, entar malah temenmu nanya-nanya lagi.”

“Tenang aja, temenku lagi dinas, dia nggak dirumah, tapi aku punya kunci rumahnya.”

“Oh ya udah kalau gitu. Yuk jalan.”

Akhirnya kamipun meninggalkan rumah makan ini. Kami menuju ke sebuah rumah yang katanya rumah teman Iing. Dan benar, dia membuka rumah itu, lalu memasukkan motornya, tak lama kemudian dia keluar lagi dan langsung masuk ke mobilku.

“Yuk jalan.”

Akupun mengikuti arahan yang diberikan oleh Iing. Aku tak mengenal kota ini, karena ini pertama kalinya aku kesini. Iing yang menunjukkan jalannya. Sampai di lokasi, Iing menyuruhku untuk tetap menunggu di mobil, sementara dia memesan salah satu cotage. Setelah itu dia masuk lagi ke mobil dan menunjukkan kemana harus jalan.

Kami sampai di tempat yang dimaksud. Di tempat ini, ada beberapa cotage yang tempatnya saling berjauhan satu sama lain. Cukup private juga. Tapi kok Iing tahu tempat ini ya? Jangan-jangan dia sering kesini?

“Kamu kok tau tempat kayak gini Ing? Sering kesini ya?”

“Haha, nggak usah mikir macem-macem. Aku sih taunya dari temenku, dia beberapa kali kesini. Ini juga baru pertama kok aku kesini, sama kamu lagi kan, haha.”

Kami masuk ke salah satu cotage yang sudah kami pesan. Kondisinya cukup lumayan lah, tidak terlalu wah, tapi bersih dan rapi. Dan yang menjadi poin tambahan, pemandangan yang bisa dilihat dari tempat ini sangat indah. Hmm, kalau saja aku kesini dengan Arum, pasti akan lebih menyenangkan, hehe.

“Nah, kita udah disini. Sekarang, apa yang mau kamu bicarain Kris?” ucap Iing membuka obrolan.

“Gini Ing, ini tentang apa yang terjadi sama istriku Arum. Tapi aku minta, apapun yang aku ceritain ini, jangan sampai tersebar ya?”

“Emang apaan sih? Istrimu selingkuh?”

“Janji dulu.”

“Iya, baiklah aku janji nggak akan ngasih tau ke orang lain.”

“Makasih Ing. Jadi gini, istriku bukan selingkuh, tapi diperkosa.”

“What? Diperkosa? Gimana ceritanya?”

Akupun menceritakan semuanya kepada Iing, sama persis dengan apa yang diceritakan Arum kepadaku. Mulai dari bagaimana dia dihadang oleh kawanan begal itu, sampai akhirnya ditolong oleh Jamal. Lalu ternyata terungkap kalau semua itu hanya setingan dari Jamal, dan akhirnya Arum dibuat tak berdaya dengan entah apapun yang diberikan kepadanya olah Jamal, sehingga Arum sama sekali tak bisa melawan saat dia diperkosa.

Aku agak emosi waktu cerita semua itu, dan aku bilang mau ngasih pelajaran sama si Jamal, tapi aku bingung harus bagaimana soalnya dia punya anak buah preman sedangkan aku tidak punya siapa-siapa. Aku juga jelaskan alasanku kenapa akhirnya aku minta bantuan pada Iing. Sedari aku memulai ceritaku, Iing hanya diam mendengarkan saja. Dia tampak tenang, tak ada emosi di wajahnya. Mungkin dia memang sudah terbiasa seperti itu, karena mungkin pernah menghadapi kasus yang lebih berat lagi daripada ini.

“Jadi gitu Ing ceritanya,” ucapku mengakhiri ceritaku.

“Hmm, terus, kamu maunya gimana?”

“Jujur, aku pengen ngasih pelajaran sama si Jamal itu. Tapi aku nggak pengen dia dipenjara, karena aku nggak mau cerita ini sampai menyebar luas. Kasihan Arum.”

“Iya aku tau. Maksudku, kamu pengen si Jamal itu diapain? Dibikin cacat atau dimatiin sekalian?” tanyanya dengan tenang, yang membuatku sedikit kaget. Sadis juga cewek ini ternyata.

“Hmm, menurutmu gimana? Kamu kan polisi, pasti punya pemikiran sendiri kan?”

“Gini lho Kris, kalau aku sebagai polisi, jelas aku bakal masukin dia ke penjara. Tapi aku tau kamu nggak mau seperti itu, karena kalau kamu mau seperti itu, nggak perlu nunggu ketemu aku, kamu pasti udah lapor polisi kan?”

“Iya Ing, tapi gimana ya, kalau lapor polisi juga, aku takut video yang sekarang dimiliki sama Jamal itu disebarin, makin malu kan nanti istriku.”

“Ya makanya aku tanya, kamu mau si Jamal itu digimanain?”

“Hmm, kalau dimatiin, aku nggak kepikiran sampai kesana, takut juga sih.”

“Lha terus kalau dibikin cacat, kan dia masih hidup, kamu nggak takut dia bakal balas dendam ke kamu?”

Eh, iya juga ya? Kenapa aku nggak kepikiran sampai disitu? Kalau hanya diberi pelajaran, dengan dibikin cacat, dia masih bisa balas dendam padaku, dengan bantuan orang lain. Tapi kalau dibunuh, duh aku nggak mau jadi pembunuh. Tapi, ini demi Arum. Haduh gimana ya, kok malah aku jadi bingung.

“Aku,, aku bingung Ing.”

Iing terlihat menghela nafas panjang.

“Aku udah beberapa kali nerima kasus seperti ini Kris, dan semuanya itu ditempuh lewat jalur hukum. Memang pada akhirnya berita itu akan tersebar, banyak yang akan tau. Tapi masyarakat juga udah cerdas sekarang. Mereka bisa ngebedain, perlakuan seperti apa yang harus diberikan kepada korban perkosaan, atau kepada orang yang selingkuh.”

Aku terdiam mendengar penjelasan dari Iing. Memang benar sih apa yang dia bilang. Selama ini sering aku membaca berita seperti itu. Memang kebanyakan korban perkosaan pasti melaporkan, entah apapun resikonya. Tapi aku benar-benar tak tega kalau orang lain sampai tahu Arum sudah diperkosa.

“Kalau kamu terus menahan, nggak mau melaporkan, salah-salah nanti malah jadi skandal perselingkuhan. Karena istrimu bisa saja dipaksa terus-terusan untuk melayani nafsu lelaki itu. Istrimu mungkin sudah cerita sama kamu soal pemerkosaan itu, tapi apa kamu bisa jamin kalau dia bakal cerita semua kalau dia dipaksa lagi?”

Iing seperti bisa membaca pikiranku. Dan sekali lagi aku harus setuju dengan ucapannya. Kalau awalnya diperkosa, siapa yang menjamin kalau tidak akan menjadi sebuah perselingkuhan? Dan apakah seterusnya Arum akan cerita semua padaku, kalau dia dipaksa lagi untuk melayani nafsu bejat bajingan itu?

“Jadi, aku harus gimana Ing? Kalau dilaporin juga kan, aku nggak punya buktinya. Dan kejadian itu udah 2 minggu yang lalu.”

“Ya terpaksa, kita harus gerebek langsung, tangkap tangan. Dengan begitu akan semakin mudah jadinya.”

“Berarti, harus ngerahin banyak orang dong?”

“Ya enggak. Gini lho Kris, aku bakal bantuin kamu. Nanti biar aku yang nyelidikin si Jamal ini. Kalau dia mau berbuat sesuatu sama istrimu, nanti aku kabarin kamu, kita gerebek berdua aja, setelah itu bisa kamu laporin ke polisi disana, dan aku yang akan jadi saksinya, gimana?”

“Hmm gitu ya? Tapi kan kamu tugasnya disini Ing?”

“Ah gampang itu. Soal itu biar aku aja yang urus.”

Aku terdiam, menimbang-nimbang usul dari Iing. Mungkin ada benarnya juga, resikonya tidak terlalu besar. Dan sepertinya, meskipun Jamal punya anak buah preman, kalau dia digerebek waktu hanya bersama dengan Arum, pasti akan lebih mudah. Jamal tak mungkin terus dijaga sama anak buahnya. Sepertinya ide Iing ini adalah opsi terbaik yang aku punya.

“Hmm, baiklah Ing, aku setuju aja sama kamu. Kapan kita bisa mulai?”

“Besok aku kabarin lagi, karena harus ada yang aku urus dulu di kantor. Mungkin lusa kita bisa mulai.”

“Duh Ing, aku nggak tau gimana harus berterima kasih sama kamu. Maaf banget kalau udah ngerepotin kamu.”

“Halah, udahlah, kita ini kan sahabat, jadi harus saling tolong menolong. Apalagi kasus yang menimpa istrimu itu, termasuk kasus yang paling aku benci. Benar-benar merendahkan perempuan. Asal kamu tau Kris, aku paling semangat kalau harus ngurusin kasus pemerkosaan gini, daripada kasus lain. Sebagai perempuan, ingin sekali aku membela mereka.”

Aku tersenyum mendengar ucapan Iing. Aku lega, bersyukur karena kurasa aku tak salah pilih minta bantuan pada Iing.

“Terus, nanti gimana Ing, perlu nggak aku kasih tau ini sama Arum?”

“Hmm, lebih baik jangan dulu. Kita kasih tau Arum kalau semua ini udah beres. Bukan apa-apa, kita ketemuan ini aja kamu nggak bilang sama dia kan? Takutnya nanti juga bisa aja Arum nggak terima kalau harus dijadiin umpan, malah rusak rencana kita.”

“Ya udahlah, pokoknya aku ngikut apa katamu aja. Yang penting semua ini bisa cepet beres, dan Arum nggak perlu lagi harus melayani bajingan itu.”

“Iya, semoga semua ini cepet beres. Eh, udah siang nih, makan yuk, laper.”

Aku melirik jam tanganku. Astaga, ternyata sudah cukup lama juga kami disini, tak terasa perutku sudah protes. Akhirnya kami putuskan untuk makan siang dulu, lalu nanti istirahat sebentar disini, sebelum aku kembali ke kotaku. Dan sepertinya akan seperti prediksiku, aku akan sampai di rumah malam hari.

Aku benar-benar tidak menyangka hal ini. Begitu pintu rumah pak Jamal terbuka, kulihat di ruang tamu duduk seorang pria yang pernah bertemu denganku beberapa minggu yang lalu. Pria itu tak lain adalah pak Bonar, yang waktu seminar sempat mendekatiku tapi diusir oleh pak Jamal yang waktu itu mengaku jadi suamiku.

Kulihat pak Bonar dengan senyum menjijikkan di wajahnya menyambut kedatanganku. Aku menoleh ke arah pak Jamal yang berdiri di sampingku, meminta penjelasan untuk ini semua, tapi dia hanya tersenyum dan mendorongku untuk melangkah masuk. Setelah itu dia kembali menutup pintu rumahnya. Saat ini aku berada di ruang tamu rumah ini bersama dengan 2 orang pria. Perasaanku jadi semakin takut. Aku membayangkan apa yang akan mereka lakukan padaku.

Aku dipaksa duduk oleh pak Jamal di salah satu kursi di ruang tamu itu. Dia kemudian masuk ke dalam, membiarkanku hanya berdua saja dengan Bonar.

“Apa kabar Arum sayang?”

“Baik,” jawabku singkat. Aku masih kaget dengan adanya pak Bonar di rumah ini.

“Kamu nggak usah tegang gitu, biar kontolku aja yang tegang, haha.”

Aku tak membalas ucapannya. Benar-benar menjijikkan. Sesantai itu dia mengucapkan kata-kata kotor seperti itu kepadaku. Tak lama kemudian pak Jamal kembali lagi ke ruang tamu ini, dia sudah berganti pakaian, hanya memakai kaos oblong dan celana pendek saja, sama seperti pak Bonar.

“Mal, kayaknya piaraanmu yang satu ini belum jinak ya?”

“Haha maklumlah Nar, baru hari itu aku entotin, belum nambah lagi. Makanya hari ini kita bikin dia teler, biar jinak, haha.”

Aku benar-benar risih dengan omongan mereka berdua. Piaraan? Emang mereka pikir aku ini hewan apa? Yang ada mereka berdua itu yang hewan. Aku hanyalah korban yang dipaksa untuk melayani nafsu hewani pak Jamal, dan mungkin sebentar lagi, pak Bonar juga.

Tapi aku masih bingung, kenapa mereka bisa begitu dekat? Bukankah waktu itu pak Jamal terlihat tak suka saat pak Bonar mendekatiku? Atau jangan-jangan, itu hanya skenario mereka berdua saja?

“Pak Jamal, apa maksud semua ini? Dan kenapa pak Bonar ada disini?”

“Kamu belum cerita Mal?” sahut pak Bonar.

“Belum, haha. Gini Arum sayang, Bonar ini sebenarnya adalah sahabat dekatku. Kalau kamu mikir dulu aku jauhin kamu dari dia, itu hanyalah sandiwara kami saja. Sama seperti begal yang menghadangmu waktu itu. Semua ini sudah aku atur, cuma buat dapetin kamu sayang. Dan sekarang, tiba waktunya buat kamu ngelayanin kamu berdua, bersamaan.”

Benar rupanya. Semua ini adalah akal-akalan mereka berdua. Aku benar-benar nggak menyangka dengan semua ini. Mereka sepertinya sudah sangat ahli dalam hal ini, dan aku percaya bukan sekali ini saja mereka melakukannya.

“Itu benar Arum. Aku dan Jamal adalah sahabat, kami punya hobi yang sama, yaitu menikmati tubuh wanita-wanita cantik kayak kamu. Kami juga sering bertukar wanita, seperti sekarang, kamu juga harus melayaniku.”

Aku hanya bisa diam, lidahku kelu. Tadinya aku pikir, aku hanya harus terus memenuhi nafsu bejat pak Jamal saja, ternyata dugaanku keliru. Selama ini aku selalu menjaga diriku, selalu menjaga tubuhku agar hanya suamiku saja yang bisa menyentuhnya. Tapi setelah kemarin dipaksa pak Jamal, sekarang aku harus melayani orang lain lagi. Dan entah apalagi nantinya, apakah ada orang lain lagi yang harus aku layani?

“Mal, kamu yakin si Arum ini sanggup ngeladenin kita berdua? Kamu bilang kemarin sama kamu aja dia udah klenger?”

“Haha tenang aja Nar. Kalau dia nggak kuat, aku panggilin lagi piaraanku yang lain. Yang penting hari ini kita bisa puas, haha.”

Sialan benar kedua orang ini. Mereka benar-benar menganggap aku, dan wanita lain sebagai piaraan mereka. Aku benar-benar marah dengan keadaan ini, tapi aku bisa apa? Lari dan menghindar? Sekarang saja sudah mustahil untuk bisa melawan mereka berdua. Belum lagi kalau pak Jamal benar-benar menyebarkan video waktu itu, mau ditaruh dimana mukaku? Bagaimana juga perasaan mas Krisna kalau tahu hal ini? Ah mas Krisna, maafin aku mas, sekali lagi harus menghianatimu, dan sepertinya aku nggak bisa ceritain ini semua ke kamu.

“Ya udahlah, aku udah nggak tahan ini. Yuk sayang kita ke dalam.”

Pak Bonar kemudian berdiri menghampiriku. Dia menarik tanganku dan mengajakku ke bagian dalam rumah ini. Akupun hanya bisa menurut tanpa membantah.

Pak Bonar ini, sepertinya seumuran dengan pak Jamal. Badannya juga tinggi besar seperti pak Jamal, tapi kulihat perutnya sedikit tambun, lebih dari pak Jamal. Yang terbayangkan olehku adalah, apakah kemaluan lelaki ini juga sebesar punya pak Jamal? Kalau iya, seperti apa rasa sakit yang akan aku terima nantinya?

Sampai di dalam, tepatnya di ruang tengah, pak Bonar duduk di sebuah kursi, sedangkan aku masih berdiri di depannya. Tak lama kemudian pak Jamal menyusul kami. Diapun duduk di samping pak Bonar. Aku tak tahu apa yang harus dilakukan, sehingga diam saja. Kedua pria jahanam itu hanya tersenyum melihatku. Tiba-tiba, pak Bonar menarik turun celananya hingga nampaklah batang kemaluannya, yang meskipun masih tertidur, tapi sudah terlihat besar. Aku bergidik ngeri melihatnya.

“Sini sayang, isepin punyaku,” perintahnya dengan santai.

Aku masih tak bergerak. Masih diam saja di tempat. Melihatku hanya diam, pak Jamal berdiri dan melangkah ke belakangku. Tiba-tiba dia mendorongku hingga terjatuh di tubuh pak Bonar.

“Hei, dia itu sama seperti aku, tuanmu. Apa yang dia perintah, kamu harus turutin, ngerti!”

Pak Jamal membentakku dengan kasar, sedangkan pak Bonar hanya tersenyum saja.

“Sudahlah Jamal, tak perlu kasar pada wanita secantik Arum. Nah ayo sayang, buruan isepin batangku, bikin dia keras, kamu suka kan yang keras-keras?”

Ucapan dan senyuman pak Bonar benar-benar menjijikkan buatku, tapi aku tak menjawab apapun. Aku berusaha bangkit, tapi pak Bonar menahan tubuhku.

“Kalau kamu nggak mau bersikap baik, aku bisa lebih kasar daripada Jamal,” bisiknya di telingaku.

Dia kemudian mendorong tubuhku hingga bersimpuh di depannya, di depan kedua kakinya yang sudah terbuka lebar. Aku masih diam, aku benar-benar tak rela melakukan hal ini.

“Hmmmpphh...”

Tiba-tiba saja pak Jamal mendorong kepalaku dari belakang, hingga wajahku menyentuh langsung penis pak Bonar.

“Cepat lakuin atau kamu pengen dikasarin?”

Bentakkan pak Jamal kembali ku dengar, dan akhirnya aku hanya bisa menangis pasrah. Perlahan kugerakkan tanganku, menyentuh batang penis yang masih terkulai lemas itu. Tanganku benar-benar bergetar saat menyentuhnya. Kulirik pak Bonar, dia tersenyum puas mengetahui aku sudah pasrah dan menyerah.

Perlahan kugerakkan tanganku, naik turun mengurut penis itu hingga perlahan-lahan mulai membesar. Penis itu akhirnya berdiri tegak meskipun aku tahu belum maksimal. Aku tahu tadi diperintak untuk mengulumnya, tapi aku belum mau, jadi aku masih terus mengocoknya saja, dan kocokanku semakin kupercepat.

“Arum, apa aku tadi nyuruh kamu ngocokin doang? Ayo sayang, jilatin, masukin ke mulut kamu yang seksi itu,” perintah pak Bonar.

Dengan amat ragu, mulai kudekatkan kepalaku menuju ke penis besar itu. Batinku berperang, haruskah aku melakukan ini lagi? Sementara suamiku saja tak pernah mendapat servis seperti ini dariku? Hanya pak Jamal yang pernah merasakan mulutku, dan kini, pak Bonarlah yang akan merasakannya.

Saking tak sabarnya pak Bonar meraih kepalaku dan menariknya, membuat wajahku kembali menyentuh penis itu. Aku memejamkan mataku, dan air mataku tak bisa kubendung lagi.

“Ayo cepet, atau kamu mau dikasarin aja?” ucapan pak Bonar sebenarnya terdengar santai dan lembut, tapi buatku itu adalah perintah tegas yang tak bisa kutolak.

Akhirnya, dengan sangat terpaksa aku mendekatkan bibirku di penis pak Bonar. Kucium kepala jamur yang besar itu. Kulirik lagi ke arah pak Bonar, dia menjulurkan lidahnya, memintaku untuk menjilati penisnya.

Aku menarik nafas dalam-dalam sambil terpejam, memantabkan diriku untuk melakukan ini. Maafkan aku mas Krisna, aku tidak pernah menginginkan hal ini, tapi aku tak punya pilihan untuk menolak. Sekali lagi, maafkan aku mas.

Selanjutnya yang terjadi adalah, lidahku mulai menyapu permukaan kulit penis pak Bonar. Dari ujung ke pangkal, kujilati semuanya. Setelah itu aku dengan susah payah memasukkan penis besar itu di mulutku. Kuhisap dan kukulum kejantanan pak Bonar, sesekali lidahku bermain, menjilati kepala penis pak Bonar yang ada di dalam mulutku.

“Uughh, luar biasa, isepanmu lumayan juga untuk seorang pemula, haha. Ayo terus sayang, puasin aku, aahhh..”

Aku tak peduli dengan apa yang dia katakan. Bagiku, aku hanya melakukan semua ini karena terpaksa, dan juga agar semua ini cepat berakhir.

Untuk beberapa saat aku terus mengulum penis pak Bonar. Desahannya terus terdengar di telingaku. Lama kelamaan aku bisa merasakan penis yang ada di dalam mulutku ini semakin mengeras, dan aku semakin kesulitan untuk mengulumnya. Tapi aku tak bisa melepaskannya karena tangan pak Bonar terus menahanku, bahkan kadang menggerakkannya kalau kepalaku berhenti.

Sekarang aku merasakan kedua tangan pak Bonar memegang kepalaku. Bukan hanya memegang, tapi dia memaksaku untuk menggerakkan kepalaku lebih cepat dan lebih dalam lagi. Ujung kepala penisnya beberapa kali menyentuh kerongkonganku membuatku tersedak dan ingin muntah. Aku berusaha meronta, apalagi saat kurasakan penis itu mulai berkedut. Tapi tenagaku jelas kalah jauh dibanding pak Bonar. Semakin sering aku tersedak, dan hampir saja aku muntah karenanya. Aku bahkan bisa merasakan air liurku keluar dari sela-sela bibirku saat pak Bonar menarik kepalaku menjauh, sebelum kemudian mendorong lagi hingga penis itu tertelan olehku.

“Aahh mulutmu enak banget sayang, aahh aku mau keluaarr..”

Aku menjadi panik. Aku memang pernah dipaksa oleh pak Jamal untuk menelan spermanya, dan aku sama sekali tak menyukai rasanya hingga kumuntahkan saat itu, meskipun sebagian terpaksa tertelan. Dan kali ini, pak Bonar sepertinya akan melakukan hal yang sama. Aku semakin berontak, tapi tetap saja tak bisa lepas, hingga saat akhirnya dia menekan kepalaku keras sekali hingga mentok.

“Aaaaaahhhhh...”

“Hooorrrkkk...”

Lenguhan panjang dari pak Bonar, dibarengi dengan aku yang hampir muntah, karena saat itu penisnya mengeluarkan banyak sekali cairan kental yang buatku sangat menjijikkan. Beberapa kali penis pak Bonar menyemprotkan spermanya di dalam mulutku. Aku mencoba menahan untuk tidak menelannya, tapi kepalaku terus ditahan hingga aku hampir kehabisan nafas. Mau tak mau, akupun menelan semua cairan yang ada di dalam mulutku itu. Rasanya benar-benar menjijikkan.

“Uhuuukk uhuuukk...”

Aku langsung terbatuk-batuk saat kepalaku dilepas oleh pak Bonar. Sisa-sisa sperma yang tak sampai tertelan langsung kuludahkan keluar. Aku terus terisak diperlakukan seperti itu, sedangkan kedua lelaki biadab itu malah tertawa penuh kepuasan.

Tapi penderitaanku belumlah selesai. Baru saja bisa menarik nafas panjang, tubuhku langsung ditarik oleh pak Jamal, yang bahkan sudah telanjang bulat. Dia juga memintaku untuk mengoral penisnya. Aku sempat ingin melawan tapi belum apa-apa dia sudah memaksakan penisnya untuk masuk ke dalam mulutku.

Pak Jamal menahan kepalaku, hingga aku tak bisa bergerak. Dia mendiamkan saja penisnya yang belum tegang maksimal itu di dalam mulutku. Waktu itu kugunakan untuk sedikit mengambil nafas lagi. Setelah itu, tanpa ampun penis pak Jamal menghajar mulutku. Aku tak diberi kesempatan untuk menghela nafas lagi, dia dengan kasar menyetubuhi mulutku. Aku hanya bisa pasrah, dengan air mata yang terus mengalir membasahi pipiku.

Dan saat itu tubuhku mulai dijamah dari belakang. Itu pasti pak Bonar. Tangannya dengan nakal meraba kedua payudaraku yang masih tertutup rapi oleh pakaianku. Satu persatu kancing kemejaku dibuka dan disibakkan kesamping tanpa melepasnya. BH yang menutupi kedua payudaraku diangkat ke atas, membuat kedua bukit kembarku itu sekarang bebas dijamahnya.

“Wah tubuh kamu bagus juga Rum, dadamu kenyal, montok, haha. Bener-bener nggak salah milih mangsa kamu Mal,” ucap pak Bonar terdengar di telingaku.

“Haha, tentu saja. Mana pernah mangsaku mengecewakan, betul kan?”

“Baguslah, kita bisa nikmati wanita ini seharian sampai puas, haha.”

Aku hanya bisa menangis mendengar obrolan mereka disela-sela menggarap tubuhku. Tangan pak Bonar terus meraba dan meremas buah dadaku. Puting susuku juga tak lepas dari jamahannya. Dipelintir lembut, kadang ditarik kasar, lalu payudaraku diremas juga dengan kasar. Aku yang kesakitan tak bisa apa-apa karena sekarang masih terus dipaksa mengoral penis pak Jamal.

Tiba-tiba kurasakan tubuhku digerakkan oleh pak Bonar. Dia memaksaku berposisi menungging. Aku kini bertumpu pada kedua tangan dan lututku, sambil kepalaku yang tertahan terus digerakkan maju mundur oleh pak Jamal. Dalam posisi itu, bisa kurasakan rok panjangku disingkap ke atas oleh pak Bonar.

Plak... Plak... Plak...

“Eehhhmmpp...”

Beberapa kali pantatku dipukuli oleh pak Bonar. Teriakanku tertahan oleh penis pak Jamal yang masih bergerak maju mundur di dalam mulutku. Pak Bonar sepertinya suka sekali dengan pantatku dan masih terus menamparinya. Aku sampai merasakan kedua bongkah pantatku kini panas, mungkin sudah memerah.

Setelah beberapa kali menampari pantatku, kurasakan celana dalamku ditarik turun oleh pak Bonar. Aku tak bisa apa-apa untuk melawan, hanya air mataku yang semakin deras tak terbendung. Aku tak pernah membayangkan akan mendapat perlakuan seperti ini. Apa yang terjadi antara aku dan pak Jamal beberapa minggu yang lalu, itu sudah kuanggap yang paling kasar yang pernah kualami, tapi kali ini, aku mendapatkan perlakuan yang lebih kasar dan lebih hina lagi, tanpa sedikitpun aku bisa melawan.

“Bener-bener sempurna. Untuk kali ini aku ngaku kalah Mal. Aku harus bisa cari mangsa yang melebihi si Arum ini.”

“Haha, gimana? Kualitas wahid kan?”

“Iya bener, ini top, kualitas wahid. Kalau aja aku tinggal di kota ini, pasti udah tiap hari aku entotin memek sempitnya si Arum ini, haha.”

Tak lama kemudian kurasakan daerah vitalku mulai diraba oleh pak Bonar. Jari-jarinya digesekan ke bibir vaginaku, hingga membuatku kegelian dan beberapa kali menggelinjang. Sesekali dia juga menusukkan jarinya ke dalam vaginaku, dan itu semakin membuatku menggelinjang. Sampai akhirnya dia menemukan sebuah biji di daerah bibir vaginaku, dia gesek-gesek dengan jarinya, membuat tubuhku makin bergerak tak karuan.

Biji kecil klitoris itu adalah kelemahanku. Aku tak pernah bisa menahan jika biji itu sudah dirangsang. Mas Krisna selalu bisa membangkitkan gairahku dengan merangsang daerah itu. Dan kini, orang lain yang melakukannya.

Pak Bonar lalu menarik jarinya dari daerah vitalku, tapi tak lama kemudian kurasakan sapuan lidahnya di sekujur bibir vaginaku. Aku yang terkejut langsung berusaha meronta, tapi lagi-lagi karena masih dipegangi oleh pak Jamal, aku tak bisa apa-apa.

Jilatan lidah pak Bonar sampai juga di klitorisku. Dijilat dan dihisapinya biji itu hingga membuat tubuhku benar-benar geli. Disaat yang bersamaan, dia masukkan jarinya menusuk lubang vaginaku.

“Eeeemmppphhh...”

Crok... Crok... Crok...

Desahanku tertahan lagi. Suara becek rajahan jari pak Bonar di lubang vaginaku bahkan sampai terdengar olehku. Vaginaku sudah basah. Bukan karena aku menginginkannya. Tapi aku hanyalah wanita biasa, yang punya kelemahan. Dan sekarang pak Bonar sedang mengeksplor kelemahanku itu.

Cukup lama pak Bonar melakukan itu, hingga membuatku semakin tak tahan. Akhirnya aku melampiaskan semuanya dengan menghisap lebih dalam dan keras penis pak Jamal yang masih ada di mulutku. Aku dipaksa menyerah kalah oleh kedua lelaki itu, hingga akhirnya sebuah desahan panjang yang tertahan mewarnai orgasme pertamaku hari itu. Tubuhku menegang. Mataku terpejam dan mulutku masih menghisap kuat penis pak Jamal.

“Uuugghh isepanmu mantep banget Rum. Punya bakan merek juga kamu ternyata, haha.”

Aku tak peduli dengan kata-kata pak Jamal. Aku hanya melampiaskan apa yang aku rasakan, itupun karena dipaksa oleh mereka. Aku mau menarik kepalaku untuk mengambil nafas dulu, tapi pak Jamal masih saja menahan kepalaku. Dia yang sedari tadi dalam posisi berdiri, malah menarikku saat dia berjalan mundur, hingga membuatku merangkak. Aku benar-benar merasa hina, merangkak ke depan dengan sebuah penis masih berada di dalam mulutku.

Akhirnya pak Jamal duduk di kursi, dan aku masih tetap tak dilepaskannya. Posisiku masih menungging. Lalu aku dipaksa lagi oleh pak Jamal menaik turunkan kepalaku, memberikan servis pada penisnya. Aku sudah pasrah, hanya menurut saja.

Saat itulah kurasakan pak Bonar kembali memegang kedua bongkahan pantatku. Kemudian aku merasakan sesuatu menyentuh bibir vaginaku yang masih basah. Aku tahu itu penis pak Bonar. Sebentar lagi dia akan memasukiku. Sebentar lagi dia akan semakin menghancurkan kehormatanku sebagai istri mas Krisna. Dan aku, tak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikannya.

“Hmmmpphhh...”

Aku hanya bisa mendesah tertahan saat kepala penis yang cukup besar itu memaksa menguak bibir vaginaku. Perlahan-lahan bisa kurasakan penis itu mulai masuk. Tidak dalam, mungkin hanya kepalanya saja. Lalu dia menariknya lagi sedikit, dan mendorongnya sedikit. Mungkin dia sedang membuka jalan agar penisnya bisa masuk semua di dalam vaginaku.

“Hhmm aaarrrkkkk...”

Aku menjerit histeris saat tiba-tiba dengan kasar dia menghentakkan penisnya ke dalam vaginaku. Kepalaku yang tak lagi dipegang oleh pak Jamal, atau mungkin memang dia sengaja melepaskannya, langsung terangkat hingga mulutku terbebas dari penisnya, dan suaraku bisa keluar dengan nyaringnya.

“Paaaakkk aaaahhhkkk pelaaannn...”

Tapi pak Bonar tak mendengarkan permintaanku. Dia terus saja menyetubuhiku dengan kasar, membuat tubuhku tersentak-sentak kedepan.

“Oouhh bener-bener masih sempit Mal, padahal udah kamu entotin dia, oohh enaak bangeett..”

“Haha, emang udah aku entot. Tapi sejak pulang dari sana belum lagi kusentuh dia, pasti udah mulai sempit lagi kan, haha.”

“Bener-bener Mal, ini enaak banget.. aaahh aaahhh...”

“Aarkk paaakk aahhh pelaan pelaaannn...”

Kembali pintaku tak didengarnya. Dia masih memperlakukanku dengan kasar. Bahkan beberapa kali tangannya menampar-nampar pantatku lagi. Dia juga meraih payudaraku yang menggantung dan meremasnya dengan kasar. Aku benar-benar merasa kesakitan saat ini. Sementara pak Jamal yang berada di depanku malah tertawa puas melihatku diperkosa dengan kasar begini.

Tak mau hanya diam, pak Jamal kemudian meraih kepalaku lagi, lalu memaksaku untuk mengoral lagi penisnya. Aku hanya bisa menurut. Rasa sakit yang kurasakan ini kulampiaskan dengan menghisap penis pak Jamal kuat-kuat. Tanpa dipegangi lagi kepalaku naik turun dengan sendirinya. Bukan aku ingin memberikan kepuasan pada pak Jamal, hanya saja ini kulakukan agar aku bisa sedikit mengurangi rasa sakitku.

Penis pak Bonar yang besar terus merojok lubang kemaluanku. Kurasa besarnya hampir sama dengan milik pak Jamal, begitu juga dengan panjangnya. Aku benar-benar tersiksa dengan ukuran penis itu.

Cukup lama pak Bonar memperkosaku dari belakang, dan aku mulai merasakan kalau rasa sakitku mulai berkurang. Tapi tetap saja aku tidak ingin menikmati persetubuhan ini, meskipun vaginaku mulai bereaksi sebaliknya. Vaginaku semakin banjir, aku bisa merasakan itu. Tapi ini bukan karena menikmati, ini hanya reaksi alami vaginaku untuk memberikan pelumas, agar aku tak lagi kesakitan. Ya, pasti begitu, aku yakin itu.

“Aaahh aaahh, Mal, kayaknya ni cewek udah mulai nikmatin kontolku. Memeknya udah makin basah.”

“Haha benar, cewek mana yang tahan dientot, iya kan Arum sayang?”

Aku yang masih terus mengulum penis pak Jamal menggelengkan kepalaku, menolak untuk membenarkan semua itu. Tidak! Aku tidak menikmatinya. Tidak akan pernah!

Tapi kembali, tubuhku berkhianat. Semakin lama kurasakan sakit di vaginaku mulai menghilang, berganti dengan, geli, bercampur nikmat. Ah tidak, ini bukan nikmat, tapi ini... Aahh tidak, maafkan aku mas Krisna..

Aku hanya bisa terus menangis. Aku sekuat tenaga menjaga agar tak menikmati semua ini. Tapi apalagh dayaku, aku hanya perempuan biasa. Diperlakukan seperti ini, lama-lama pertahananku jebol juga. Vaginaku mulai berkedut, dan aku yakin pak Bonar bisa merasakan itu. Terbukti, dia semakin mempercepat goyangannya, yang membuatku tak mampu lagi bertahan, hingga melepaskan penis pak Jamal dari mulutku.

“Aaah paaak.. udaaahh.. aahh pelaan.. aku... aahh aku mau.... aaahhhh...”

Sebuah desahan panjang akhirnya tak bisa kutahan saat kurasakan gelombang dahsyat menerpaku. Aku kembali orgasme, saat disetubuhi oleh pria lain yang bukan suamiku. Tubuhku beberapa kali mengejang. Mataku tertutup dan mulutku terbuka lebar. Nafasku sudah tak beraturan. Aku kalah, benar-benar kalah.

“Haha gimana Arum sayang? Nikmat kan dientot sama Bonar? Ini belum seberapa sayang, nanti ada yang lebih nikmat lagi.”

Kembali aku tak menjawab ucapan pak Jamal. Aku masih terdiam, menikmati sisa-sisa orgasmeku. Iya, aku menikmatinya pada akhirnya. Entahlah, hatiku tak ingin mengakuinya, tapi tubuhku berkata lain.

Setelah membiarkanku menikmati orgasmeku, pak Bonar menarik lepas penisnya, meninggalkan kekosongan di dalam vaginaku. Tapi itu tak bertahan lama. Tubuhku ditarik oleh pak Jamal hingga kini posisiku mendudukinya. Dia melepaskan kemeja, bh, rok panjang dan celana dalamku. Aku sudah telanjang kini, hanya menyisakan jilbab yang masih terpasang di kepalaku, yang entah sudah seperti apa kondisinya sekarang. Aku tahu pak Jamal tak akan melepaskannya sekarang. Dia bilang, lebih bernafsu menyetubuhku yang memakai jilbab. Aku juga sudah tidak punya tenaga lagi, karena itu aku membiarkannya saja.

Setelah aku telanjang, pak Jamal memposisikan penisnya ke bibir vaginaku. Karena memang sudah basah, dan sudah terbuka oleh penis pak Bonar tadi, kini penis pak Jamal dengan cukup mudah masuk ke dalam vaginaku.

“Uuugghh udah paaak, Arum capeekk...”

“Capek? Belum sayang, kamu belum boleh capek. Ini masih pagi, kita akan kayak gini terus sampai sore, haha.”

Sampai sore? Gila! Melayani kedua orang ini sampai sore? Mau dibikin jadi apa nanti aku? Baru sekali ini saja aku sudah secapek ini, apalagi sampai sore?

“Ayo, gerakin pantat kamu sayang, naik turun, kayak yang waktu itu,” perintah pak Jamal.

Aku tak punya pilihan lain kecuali menurutinya. Aku tahu, menolakpun percuma, yang ada malah dia akan mengasariku lagi. Aku tak mau dikasari, tak mau disakiti lagi. Akhirnya dengan sangat terpaksa aku gerakkan tubuhku naik turun. Aku tumpukan kedua tanganku di pundak pak Jamal. Dia sendiri kedua tangannya terus bermain di kedua buah dadaku, yang sudah terbuka karena jilbabku disingkap ke belakang.

Saat itu tiba-tiba kurasakan ada yang menyentuh pantatku. Aku menoleh ke belakang. Pak Bonar, tampak tersenyum melihatku. Aku lirik ke bawah. Astaga, aku lupa, dia kan belum orgasme. Dan sekarang tangannya meraba pantatku, jarinya mengarah ke lubang belakangku. Apa yang dia mau? Jangan-jangan....

“Kita main sama-sama yang sayang, hehe.”

“Paak jangan disitu pak, saya nggak mau..”

Aku hendak menarik tubuhku menjauh, tapi malah dipegangi pak Jamal dari bawah. Dia memeluk tubuhku erat sekali, membuatku menghentikan gerakkan pantatku. Saat itu pak Bonar mengarahkan kepala penisnya ke lubangku yang satunya. Aku benar-benar takut. Meskipun lubang itu sudah diperawani oleh pak Jamal, tapi melakukan ini bersamaan, diperkosa depan belakang, aku belum pernah melakukannya.

Bayang-bayang rasa sakit yang teramat sangat membuatku mencoba meronta dengan keras. Tapi tak menghasilkan apa-apa karena saking kuatnya pak Jamal memelukku. Pak Bonar sendiri mulai meludahi tangannya sendiri, lalu diusapkan ke lubang belakangku. Jarinya bahkan dipaksa masuk, untuk membuatnya lebar, membuka jalan.

“Paak jangan disitu, jangan gini paak.. Arum nggak mau...”

Tapi kedua lelaki itu tak menggubrisku. Yang ada, sekarang malah 2 jari pak Bonar dimasukkan untuk mengobok-obok lubang anusku.

“Aaahh jangan paak, sakiiiit...”

“Udah sayang, dinikmati aja..”

“Nggak, nggak mau, sakiiiiitt...”

Pak Bonar menarik kedua jarinya. Tapi aku bukannya lega, tapi justru semakin takut. Kulihat lagi ke belakang, pak Bonar kembali mendekatkan kepala penisnya di bibir anusku. Dia mulai memaksanya untuk masuk. Sementara aku menggigit bibirku sendiri, menahan rasa sakit yang mulai kurasakan.

“Aaarrkkk udaaahh paaak, sakiiiiittt...”

Kepala penis itu sudah masuk, dan sakitnya luar biasa. Kembali aku mencoba meronta, tapi tubuhku dipegangi dengan sangat kuat, terlalu kuat.

Blesss...

“Aaaaaaaarrrrkkkkkhhhh...”

Aku menjerit sekeras-kerasnya saat tiba-tiba pak Bonar menghentak penisnya di lubang anusku yang sempit dan kering. Pinggangnya sampai membentur bongkahan pantatku, artinya penisnya masuk semuanya. Ini benar-benar sakit, lebih sakit daripada saat lubang itu diperawani oleh pak Jamal.

“Anjiiiing, sempiit bangeeet.. oouuhhh...”

Kedua lelaki biadab itu masih diam tak bergerak. Mereka seperti sedang menikmati jepitan kedua lubangku. Pak Bonar pastinya menikmati betapa sempitnya lubang anusku. Sedangkan pak Jamal juga merasakan lubang vaginaku semakin menyempit karena aku yang kesakitan.

Aku sendiri, merasakan tubuhku terbelah. Entah lecet atau seperti apa di dalam, tapi yang pasti ini sakit sekali. Pandanganku sampai berkunang-kunang. Ingin rasanya aku pingsan saja, agar tak lagi merasakan sakit ini.

Setelah beberapa saat, mungkin hampir semenit lamanya terdiam, pak Bonar mulai bergerak maju mundur. Liang anusku yang masih kering itu membuatku kembali merasakan sakit yang teramat. Tapi sebelum aku sempat berteriak lagi, pak Jamal sudah langsung menyambar bibirku. Dia menciumiku dengan buas. Akupun membalasnya tak kalah buas. Sekali lagi, bukan aku ingin melayani atau memuaskannya, hanya sebagai pelampiasan dari rasa sakitku.

Pak Jamal sendiri kemudian mulai bergerak dari bawah, tapi dia bergerak lebih pelan daripada pak Bonar. Kedua tangan pak Jamal juga mulai meremas payudaraku dengan lembut, sambil terus menciumi bibirku. Lidah kamu bertemu, saling mengait satu sama lain. Sedangkan pak Bonar yang terus bergerak memperkosa liang anusku, tangannya mulai meremas pantatku yang montok. Tidak lagi dia menamparnya, hanya meremasi saja.

Cukup lama kami dalam posisi ini. Meskipun sudah agak berkurang, tapi tetap saja masih terasa sakit di lubang anusku. Aku sudah tak mencium pak Jamal lagi. Aku merebahkan kepalaku di samping kepalanya. Bibirku terus mengeluarkan rintihan, yang mungkin bagi pak Jamal malah terdengar sebagai alunan yang indah.

Sampai akhirnya aku merasakan gerakan pak Bonar dan pak Jamal mulai semakin cepat. Keduanya juga mulai melenguh, tanda begitu menikmati kedua lubangku itu. Aku sendiri masih terus merintih dari tadi. Campuran antara kenikmatan yang diberikan pak Jamal di lubang vaginaku, dan rasa sakit yang masih terasa di lubang anusku.

Aku tahu mereka sudah akan orgasme, dan aku tahu mereka tak akan mencabut penisnya dari kedua lubangku. Beruntung tadi pagi aku sudah persiapan, sudah meminum pil KB yang diberikan oleh temanku. Akupun membantu mereka dengan menggerakkan otot-otot di dinding kedua lubangku itu untuk meremas penis mereka. Aku ingin semua ini cepat selesai, agar segera selesai juga rasa sakitku.

“Aaahh gilaa, aku nggak tahan lagi, lubang wanita ini enak bangeett...”

“Aku juga Nar, memeknya masih enak banget, aku nggak tahan...”

Kudengar keduanya mulai meracau. Aku sendiri, jujur saja aku juga sudah mulai dekat dengan orgasmeku. Titik-titik tertentu di dalam vaginaku berkali-kali tersentuh oleh penis pak Jamal, dan itu membuat pertahananku rasanya tak sanggup bertahan lebih lama lagi. Meskipun anusku masih terasa sakit, tapi tak bisa kupungkiri, aku juga merasakan nikmat.

Gerakan mereka berdua semakin cepat dan cenderung kasar. Aku semakin mengencangkan otot di kedua lubangku, meskipun akibatnya kembali aku harus menerima rasa sakit di anusku. Pak Jamal kemudian meremas kedua buah dadaku dengan kasar, begitu juga dengan pak Bonar di kedua pantatku.

“Aku keluaaaaaaarrrr... Aaaaahhhhh...”

“Aaaaaahhhhhh...”

Desahan dan rintihan kami bertiga terdengar bersamaan. Bersama dengan itu aku merasakan kedua lubangku disiram oleh cairan hangat mereka. Aku sendiri tak mampu bertahan, akupun orgasme bersama dengan kedua pemerkosaku itu.

Entah berapa banyak cairan sperma yang masuk ke dalam rahim dan anusku, yang kurasakan hanya hangat saja di dalam sana. Tubuhku yang sempat menegang beberapa kali, langsung ambruk menimpa tubuh pak Jamal.

Nafas kami bertiga terengah-engah, terutama aku, yang digarap oleh kedua lelaki ini. Mereka juga tak langsung mencabut penisnya, masih mendiamkan dulu untuk beberapa saat. Baru kemudian pak Bonar menarik lepas penisnya, disusul pak Jamal tak lama kemudian. Aku merasakan kedua lubangku terbuka lebar, dan cairan sperma mereka cukup banyak mengalir keluar.

Pak Jamal mengangkat tubuhku dan menidurkan di sampingnya. Penampilanku sudah entah seperti apa, aku sudah tak peduli lagi. Aku hanya memejamkan mataku, dan air mataku juga masih mengalir membasahi pipiku. Tubuhku rasanya remuk, lemas, hingga aku tak sanggup bergerak lagi.

Tapi itu hanya awal dari penderitaanku hari itu. Setelah membiarkanku beristirahat selama beberapa menit, mereka kemudian menggarapku lagi habis-habisan. Kadang bergantian, kadang aku dihajar depan belakang, hingga rasanya aku sudah mau pingsan saja. Mereka menyemprotkan spermanya ke sekujur tubuhku, hingga jilbabku yang belum dilepas ikut basah juga oleh sperma mereka.

“Sudaaah paak, Arum udah nggak sanggup lagii..”

Aku hanya bisa merintih saat kulihat pak Bonar kembali menjamah tubuhku. Entah bagaimana lelaki ini masih begitu kuat. Kulihat penisnya juga sudah tegang lagi. Padahal dia sudah berkali-kali menyetubuhiku hari ini. Aku sempat melirik jam, sudah jam hampir 2 siang, artinya sudah lebih dari 4 jam aku berada disini dan digarap oleh mereka.

Aku hanya bisa pasrah saat penis pak Bonar dengan mudahnya memasuki lubang vaginaku. Aku sudah tak punya tenaga lagi untuk melawannya. Aku biarkan saja dia berbuat apapun pada tubuhku. Saat itu samar-samar ku dengan bel rumah ini berbunyi. Aku menoleh, kulihat pak Jamal dengan santainya, masih dalam keadaan telanjang bulat berjalan ke depan untuk membukakan pintu.

“Siang pak,” kudengar suara seorang perempuan. Kalau aku tidak salah, itu adalah suara Sarah. Kenapa Sarah kesini? Apa disuruh pak Jamal?

Dan ternyata benar, tak lama kemudian kulihat Sarah berjalan kemari ditarik tangannya oleh pak Jamal. Dia begitu kaget melihatku, begitu juga aku.

“Pak Jamal, ini apa?” tanya Sarah.

Pak Jamal tak menjawabnya, tapi langsung menyergap tubuh Sarah. Kulihat tak ada perlawanan berarti dari Sarah. Karena mungkin dia sama sepertiku, sudah menjadi budak nafsu pak Jamal, seperti yang kemarin dia ceritakan padaku.

Sarah hanya diam saja ketika dia ditelanjangi. Pakaian dinasnya satu persatu lepas dari tubuhnya, begitu juga dengan pakaian dalamnya. Dia sekarang sama sepertiku, hanya menyisakan jilbab di kepalanya saja. Dan ternyata benar perkiraanku selama ini, tubuh Sarah terlihat lebih seksi dan montok dibandingkan aku. Payudaranya lebih besar dariku, begitu juga bongkahan pantatnya.

Tanpa banyak bicara, pak Jamal menyeret Sarah dan dibaringkan di sampingku. Dia sempat menatapku dengan tatapan nanar, begitu juga denganku. Sepertinya pak Jamal tidak ingin berlama-lama, tidak ingin pemanasan dulu dengan Sarah, mau langsung tancap gas.

“Aaahh paaakk pelaan, masih keriiing...”

Kudengar Sarah menjerit dan tubuhnya mengejang.

“Ah diem kamu Sar, biasa juga gitu..”

Pak Jamal langsung saja menghentak-hentakkan penisnya di vagina Sarah. Tubuhnya melonjak-lonjak membuat kedua buah dadanya bergerak naik turun. Pak Bonar rupanya tak mau kalah, dia yang tadinya menyetubuhiku dengan lembut, tiba-tiba berubah kasar. Sarah masih terus merintih dan menjerit, tapi tak melakukan perlawanan. Sedangkan aku, bahkan untuk merintih saja sudah terlalu lemas, sudah tidak ada tenaga lagi.

Beberapa menit disetubuhi seperti itu, kurasakan pak Bonar menarik lepas penisnya. Aku membuka mataku, melihat apa yang dia lakukan. Ternyata dia bertukar dengan pak Jamal. Dia ganti menyetubuhi Sarah, sedangkan pak Jamal menyetubuhiku.

“Halo Sarah sayang, udah lama nggak ngerasain memekmu, haha.”

Aku terkejut mendengar ucapan pak Bonar. Berarti ini bukan pertama kalinya dia menyetubuhi Sarah? Tapi kenapa kemarin Sarah tidak cerita padaku? Apa karena hanya ingin menutupi dan menganggap hal ini tak perlu diceritakan? Sepertinya memang begitu, akupun mungkin tak akan menceritakan jika berada di posisi Sarah. Sarah hanya cerita tentang perlakuan pak Jamal karena sudah tahu aku juga diperkosa olehnya.

Kedua lelaki itu terus menerus menyetubuhi kami. Mereka beberapa kali bergantian. Sarahpun kulihat beberapa kali vaginanya disembur oleh sperma pak Jamal dan pak Bonar, sama sepertiku.

Saat kulihat jam sudah jam 4 sore, aku sudah benar-benar lemas, sama sekali tak ada tenaga lagi, dibiarkan terbaring begitu saja. Sekarang ini pak Bonar dan pak Jamal sedang menyetubuhi Sarah depan belakang. Pak Jamal berada di bawah dengan penisnya di vagina Sarah, sedangkan pak Bonar di atas dengan penisnya di anus Sarah.

Bisa kulihat Sarah terus menerus merintih dan mendesah, tapi sepertinya dia tidak terlalu kesakitan seperti aku tadi. Mungkin karena dia pernah merasakan yang seperti itu, berbeda dengan aku yang baru tadi pagi dihajar depan belakang seperti itu.

Beberapa menit lamanya mereka dalam posisi itu, sampai akhirnya badan pak Jamal dan pak Bonar mengejang, diikuti tak lama kemudian oleh Sarah. Ketiganya orgasme. Setelah itu mereka tampak beristirahat. Aku benar-benar berharap, acara gila ini selesai sampai disini. Sudah sore, aku ingin segera pulang. Meskipun aku tahu mas Krisna pulangnya masih malam, tapi aku ingin segera pergi dari rumah terkutuk ini. Dan untungnya, harapanku ini terkabul.

“Sar, kamu masih kuat nganterin Arum pulang kan?”

“Iya pak, masih,” jawab Sarah, meskipun nafasnya masih tersengal.

“Ya udah, sana pake pakaianmu, habis itu pakein pakaian Arum juga. Terus antar dia pulang.”

“Baik pak.”

Sarah terlihat begitu menurut pada pak Jamal. Dia segera memakai pakaiannya, tanpa membersihkan dulu bercak sperma di tubuhnya. Setelah itu dia membantuku yang masih lemas untuk berpakaian. Dia juga tak membersihkan bercak-bercak yang menempel di tubuhku. Setelah aku selesai dipakaikan pakaian, Sarah kemudian memapahku keluar rumah. Ternyata hari ini membawa mobil, entah mobil siapa karena setahuku Sarah tak punya mobil. Tapi aku tak ambil pusing, yang penting aku segera sampai rumah.

Sepanjang perjalanan kami sama sekali tak ada yang bicara. Aku masih terlalu capek, kalau Sarah, entahlah. Tak lama kemudian, aku sudah sampai di rumah. Sarah kembali membantuku turun dari mobil dan memapahku masuk ke dalam rumah.

“Mau mandi sekalian Rum?”

Aku hanya mengangguk. Sarah hanya tersenyum, lalu membawaku ke kamar mandi. Oh iya, Sarah ini sudah pernah beberapa kali ke rumahku, jadi dia sudah tahu dimana kamarku dan juga kamar-kamar lain. Disana dia menelanjangiku, dan menelanjangi dirinya sendiri. Kami mandi bersama. Bukan, lebih tempatnya, dia memandikanku sambil dia juga mandi sendiri. Agak aneh juga rasanya. Aku hanya pernah mandi berdua dengan mas Krisna saja, dan sekarang dengan orang lain, tapi sama-sama cewek. Setelah mandi, Sarah membawaku ke kamar. Dia mengambilkan pakaianku dan memakaikannya.

“Rum, aku pinjem bajumu ya? Aku nggak bawa ganti soalnya.”

“Iya Sar, silahkan. Tapi mungkin kekecilan buat kamu.”

“Ah enggak kok. Aku pinjem baju luar aja, nggak perlu pake daleman lagi.”

“Ya udah, terserah kamu aja.”

Selesai Sarah berpakaian, dia duduk di sampingku yang terbaring di ranjang.

“Kamu mau makan? Aku pesenin ya?”

Aku hanya mengangguk. Sarah kemudian keluar dari kamar, entah apa yang dia lakukan. Agak lama dia berada di luar, kemudian masuk lagi. Dia membawaku ke meja makan, ternyata sudah tersedia makanan di sana. Kalau kulihat itu adalah menu makanan dari warung yang tak jauh dari rumahku.

Setelah selesai makan, dia memberekannya. Sebenarnya sudah kularang, tapi dia memaksa, jadi aku biarkan saja. Setelah itu kamu duduk di ruang keluarga. Setelah makan ini aku merasa sudah punya cukup tenaga, tak lemas seperti sebelumnya.

“Sar..”

“Iya, kenapa Rum?”

“Hmm, kamu tadi, kok bisa ada di rumah pak Jamal?”

Dia tak menjawab, tapi mengambil handphonenya, tak lama kemudian memberikannya kepadaku. Kulihat disitu ada chat dari pak Jamal kepadanya.

‘Sar, kamu cepet ke rumahku sekarang. Si Arum udah nggak kuat lagi itu. Aku sama Bonar ini.’

Begitu isi pesannya.

“Sebenarnya dari kemarin aku udah nebak, pasti kamu bakal dibawa ke rumahnya. Tapi aku sama sekali nggak kepikiran kalau ternyata ada pak Bonar juga.”

“Apa kamu, juga kayak gitu dulu Sar?”

“Iya Rum. Yang aku tau, pak Jamal sama pak Bonar itu suka tekuran wanita. Kalau dulu, aku dibawa pak Jamal ke rumahnya pak Bonar diluar kota. Disana aku juga dihajar habis-habisan sama mereka, kayak kamu tadi. Bedanya waktu itu, aku perginya 2 hari, tapi disana ada ceweknya pak Bonar juga.”

“Pantesan, dia kayak nggak kaget waktu kamu dateng tadi.”

“Iyalah, dia udah pernah ngentotin aku.”

“Sarah, kok ngomongnya gitu sih.”

“Hehe maaf Rum. Habis aku jengkel sama mereka berdua. Lagian, aku juga udah kebawa pak Jamal. Tiap gituan pasti ngomongnya gitu, lama-lama kan jadi ngikut-ngikut.”

“Ya tapi jangan dibiasain lah Sar. Entar gimana kalau misalnya kamu keceplosan waktu lagi sama suami kamu?”

“Hmm, jujur aja sih, aku kalau lagi sama suami, emang suka ngomong jorok kalau lagi gituan Rum, jadi suamiku nggak bakal kaget kalau aku jadi vulgar.”

“Ooh gitu, pantesan. Hmm, tapi, sampai kapan ya kira-kira kita bakal kayak gini Sar? Aku takutnya, mereka nanti bakal ngelakuin hal yang lebih gila dari ini.”

“Entahlah Rum. Tapi aku juga berharap, yang kamu ceritain kemarin, soal suamimu yang mau balas dendam itu, beneran terwujud, jadi kita bisa bener-bener lepas dari mereka berdua.”

“Iya Sar, semoga aja.”

“Ya udah kalau gitu Rum. Kamu istirahat aja, kamu pasti capek banget. Aku mau pulang dulu. Oh iya, baju kotor kita tadi udah kurendam, aku nitip cuciin sekalian ya?”

“Iya, nanti aku cuciin. Makasih ya Sar.”

Setelah Sarah berpamintan dan pulang, akupun menuju ke kamarku. Masih jam 6 sore, dan sepertinya mas Krisna masih lama pulangnya. Tapi sepertinya aku ingin istirahat saja, aku benar-benar lelah hari ini. Maafin aku mas Krisna, tidak menyambutmu pulang malam ini, maafin juga nggak masakin makan malam buat kamu, semoga kamu udah makan di kantor. Dan maafin aku juga, karena hari ini aku kembali harus dipaksa melayani orang lain, dan sepertinya aku tidak akan menceritakan ini semua ke kamu. Maaf.

Akhirnya aku sampai juga di rumah. Kulihat jam tanganku, sudah jam 10 malam. Hmm, apa mungkin Arum sudah tidur ya? Lampu depan saja sampai lupa tidak dinyalakan. Setelah memarkirkan mobilku, aku langsung masuk ke rumah. Tidak ada Arum di ruang tengah. Akupun langsung masuk ke kamar, dan ternyata benar, Arum sudah terlelap.

Aku hampiri dia, kukecup keningnya, tapi dia tak bereaksi. Sepertinya dia sudah nyenyak sekali. Dari wajahnya, terlihat dia sedang capek. Entahlah, apa mungkin hari ini dia banyak pekerjaan, aku tak tahu. Akupun tak ingin membangunkannya, kasihan.

Akupun segera mandi dan berganti pakaian. Untungnya aku tadi sudah makan waktu di jalan. Kebetulan juga tadi jalanan cukup macet, jadi lama sekali aku baru sampai di rumah.

Aku baringkan tubuhku di samping istriku yang tidur nyenyak. Kupandangi wajah cantiknya. Kecantikan yang membuatnya justru bernasib sial, karena telah membuat atasannya yang tengik itu memperkosanya. Maafin aku Rum, kalau aku nggak bisa menjagamu. Tapi ini semua akan segera berakhir, percayalah padaku.

Dan aku juga belum bisa memberitahumu soal Iing. Nanti, setelah semua ini selesai, aku akan menceritakan semuanya. Yang pasti, aku akan menyelamatkanmu dari kondisi ini. Aku tak peduli kalau tubuhmu sudah dinikmati oleh orang lain, karena aku tahu kamu dipaksa. Aku akan terus mencintaimu, dan tidak akan meninggalkanmu hanya karena ini. Secepatnya, secepatnya semua ini akan berakhir, dan kita akan kembali hidup bahagia, tanpa ada yang mengganggu rumah tangga kita lagi.

“Abi, bangun bii..”

“Hemm..”

Perlahan kubuka kedua mataku. Kulihat Arum istriku, tersenyum manis kepadaku. Akupun tersenyum padanya, meraih kepalanya dan mencium keningnya. Akupun bangkit, dan kulihat jam dinding sudah jam setengah 6 pagi. Biasanya jam segini Arum sudah mandi, dan memang benar, dia sudah terlihat segar.

“Abi semalem pulang jam berapa?”

“Hmm, jam 10an lewat kayaknya mi. Waktu abi pulang, umi udah pules tidurnya. Kayaknya capek gitu mi, kemarin banyak kerjaan di kantor ya?”

“Iya bi, maaf ya, umi jam berapa gitu udah ketiduran semalem, jadi nggak sempet nungguin abi pulang, nggak sempet masak juga buat abi.”

“Iya nggak papa, abi udah makan diluar kok. Lha umi sendiri semalam nggak makan dong?”

“Enggak bi, tapi sore pulang kantor umi udah makan duluan. Ya udah sana mandi, itu udah umi siapin sarapan.”

“Makasih ya sayang.”

Akupun bergegas bangkit dari tempat tidurku menuju ke kamar mandi. Kulihat disana sudah ada rendaman baju kotor, dan sepertinya itu seragam istriku. Entah baru saja atau sudah dari kemarin, semalam waktu mandi aku juga tak memperhatikan. Tapi kalau memang sudah dari kemarin, mungkin Arum yang kecapekan tak sempat mencucinya.

Setelah selesai mandi dan berganti pakaian aku menyusul Arum ke meja makan. Dia masih belum berganti dengan seragam dinasnya, hanya memakai piyama seperti yang dia pakai semalam. Kami sarapan bersama pagi ini. Menunya sih sederhana, hanya nasi goreng dan telor mata sapi. Tapi buatku, apapun yang dimasak oleh istriku selalu istimewa. Ini bukan asal memuji, karena memang masakan Arum itu enak. Bahkan saudara atau teman-teman kami yang pernah datang kemari dan makan disini, mereka memuji masakan Arum.

“Gimana kemarin bi auditnya? Lancar?”

“Yaah, kalau di bagian abi sih lancar mi, tapi kemarin ada masalah di bagian lain,” jawabku terpaksa berbohong kepada Arum, hal yang jarang sekali aku lakukan.

“Oh ya? Kenapa emangnya?”

“Ada dokumen yang terselip, jadi data yang dikasihkan kacau. Makanya, mungkin minggu depan bakal ada audit ulang mi.”

“Oh gitu. Tapi kan di bagian abi aman, berarti nggak perlu repot dong minggu depan?”

“Ya mungkin sih mi, tapi tetep aja kalau ada audit kita semua harus stand by di kantor sampai selesai, umi taulah gimana kalau audit.”

“Iya juga sih bi, kudu nunggu closing meetingnya ya?”

“Iya mi, soalnya kan itu kesimpulan dari audit sehariannya.”

Aku benar-benar merasa bersalah pada Arum. Aku harus menutupi kebohonganku dengan membuat kebohongan-kebohongan lainnya. Tapi tak apalah, ini semua juga demi dia. Setelah ini semua selesai, aku akan ceritakan semua kepadanya.

“Oh iya, umi nanti mau berangkat bareng apa nggak? Kok belum ganti baju sekalian?”

“Hmm, kayaknya enggak bi, umi hari ini berangkat sendiri aja.”

“Beneran?”

“Iya bi bener kok, umi pake motor aja entar, soalnya kalau jadi, pulangnya mau ke tempat Sarah dulu.”

“Oh gitu, ya udah kalau gitu entar hati-hati ya mi.”

“Iya bi.”

Setelah selesai sarapan, beberapa saat kemudian aku berangkat ke kantor. Istriku sendiri saat aku berangkat tadi baru mau berganti baju. Yang kutahu dia memang cukup akrab dengan Sarah, karena Arum bilang hanya Sarah yang seumuran dengannya. Sebenarnya ada beberapa lagi yang umurnya tak terlalu jauh selisihnya, tapi Arum bilang dia lebih cocok dengan Sarah. Ya tidak masalah sih, aku malah senang Arum punya kawan dekat di kantor, siapa tahu bisa berbagi dan saling bantu pekerjaan di kantornya.

Sepanjang hari ini pekerjaan yang harus kubereskan lumayan banyak, karena memang kemarin kutinggal cuti tidak ada yang mengerjakan. Mungkin karena aku hanya cuti sehari. Padahal biasanya, kalau cuti agak lama, pasti ada saja yang membantu mengerjakannya.

Tak terasa hari sudah cukup sore, pekerjaanku juga sudah rampung semua. Tapi memang belum waktunya pulang, dan kulihat teman-temanku yang lain, yang juga sudah beres kerjaannya hanya ngobrol ngalur ngidul. Saat aku mau bergabung dengan mereka, tiba-tiba handphoneku berdering. Kulihat di layar, ternyata Iing menelponku. Karena ini adalah hal yang penting, aku segera berpindah tempat, mencari tempat yang sepi dan aman.

“Halo Ing.”

“Iya halo Kris.”

“Gimana Ing?”

“Beres Kris, ini aku mau berangkat kesana.”

“Oh gitu? Kamu dapet ijin berapa hari kesini?”

“Ijin resminya sih seminggu, tapi gampanglah itu. Yang penting urusan istrimu bisa cepet kita bereskan.”

“Oh ya udah kalau gitu. Kamu kesini naik apa? Dan nanti nginepnya dimana?”

“Aku naik mobil. Kalau soal nginap, ya paling di hotel.”

“Oh gitu ya? Hmm, udah cari hotelnya?”

“Belum sih.”

“Ya udah, biar aku cariin aja Ing.”

“Oke, makasih ya Kris. Kurang lebih 4 jam lagi aku sampai sana.”

“Oke, nanti kabarin aja.”

Setelah menutup telpon, aku kembali ke mejaku. Teman-temanku masih ada disana, masih ngobrol nggak jelas. Aku malah yang sekarang bingung. Kalau aku pulang, terus nanti malam keluar lagi buat nemuin Iing, pasti Arum bakal banyak nanya. Ah kalau gitu aku pulang entar aja sekalian. Aku segera menghubungi Iing. Tapi beberapa kali kutelpon tak diangkatnya. Kulihat jam, ah ini jam dia pulang kerja. Jangan-jangan masih di jalan. Kalau gitu ku kirim pesan saja lah.

‘Mi, udah pulang ya? Atau masih di jalan? Abi cuma mau ngabarin kalau hari ini abi harus lembur lagi, ada rapat mendadak sama boss, soal audit kemarin. Mungkin entar abi juga sekalian makan di kantor, jadi umi makan duluan aja nggak papa.’

Setelah ku kirim, beberapa saat kemudian ku tunggu tak ada balasan. Akupun mencari hotel dari aplikasi di handphoneku. Aku pilihkan hotel yang letaknya tak terlalu jauh dari kantor Arum, biar Iing lebih mudah memantau si Jamal. Beres mencarikan hotel untuk Iing, tiba-tiba masuk balasan pesan dari Arum.

‘Iya bi, tadi lagi di jalan. Ini masih di tempatnya Sarah, tapi nggak lama kok, bentar lagi juga pulang. Ya udah, abi jaga kondisi ya, jangan sampai nggak makan lho.’

‘Iya mi. Nanti umi hati-hati pulangnya.’

Tak ada balasan lagi dari istriku, mungkin dia sedang ngobrol dengan Sarah. Akupun memutuskan untuk menunggu sebentar di kantor, sampai jam pulang. Setelah teman-temanku pada pulang semua, sekarang aku bingung, mau menunggu dimana. Iing juga masih lama sampainya.

Akhirnya kuputuskan untuk keliling-keliling saja. Sudah lama aku tidak keliling kota ini. Tapi kuhindari jalur dari rumahku ke rumah Sarah, supaya tidak berpapasan dengan Arum di jalan. Bisa kacau kalau dia tahu ternyata aku berbohong.

Setelah cukup lama berkeliling dengan kemacetan kota ini karena memang jam pulang kantor, lalu aku mampir ke sebuah kafe untuk ngopi dan browsing internet, tiba-tiba Iing mengabari kalau dia sudah sampai di kota ini. Lalu kusuruh dia untuk menuju hotel yang sudah aku pesan. Akupun segera menyusul kesana.

Baru aku sampai di parkiran hotel itu, Iing mengabari kalau dia sudah menunggu di lobby, akupun menghampirinya.

“Hei Ing, sorry ya nunggu.”

“Halah, baru juga aku sampai Kris. Kamu pesanin aku disini?”

“Iya, kenapa emang?”

“Ini bukannya hotel mahal Kris?”

“Ya lumayan sih, hehe.”

“Kok malah jadi ngerepotin gini sih? Kenapa nggak nyari yang agak murah aja hotelnya?”

“Udah, nanti aja kita bahas, sekarang check in dulu aja.”

“Ya udah kalau gitu.”

Setelah mengurus check in, aku dan Iing menuju ke kamar yang sudah dipesan, di lantai 5 hotel ini. Setelah masuk kamar dan aku melihat pemandangan dari jendela di kamar ini, wah beruntung sekali karena kamarnya menghadap ke kantor Arum, bisa makin mudah untuk Iing mengawasi si Jamal dari sini.

“Tuh kan Kris, kamar ini terlalu mewah deh buatku, apalagi aku nginepnya 7 malem lho.”

“Nggak papa Ing. Gini lho, kenapa aku pesanin disini, karena hotel ini deket banget sama kantor istriku. Coba kamu kesini.”

“Masak sih?”

Iing menghampiriku, lalu kutunjuk keluar jendela.

“Nah itu kantornya Arum, jadi dari sini aja kamu bisa ngawasin mereka kan?”

“Hmm, bener juga sih. Oh iya, tapi aku belum tau yang namanya Jamal itu seperti apa, kamu ada fotonya?”

“Ada. Kemarin aku udah nyari-nyari. Bentar ya... nah ini dia yang namanya Jamal.”

Kutunjukkan ponselku ke Iing. Dia melihatnya, lalu hanya mengangguk saja.

“Ya udah, kirimin ke aku, mulai besok biar aku intai dia.”

“Terus, rencanamu gimana Ing?”

“Ya mulai besok aku bakal ngikutin dia.”

“Pake mobil? Apa nggak repot?”

“Ya enggaklah, nanti aku pake motor, ada rental motor kan disini?”

“Aku kurang tau sih, entar coba nanya sama orang hotel aja.”

“Ya udah, gampang kalau gitu.”

“Oh iya, kamu udah makan Ing?”

“Belum sih, kamu?”

“Belum juga. Hmm, kita makan disini aja gimana?”

“Haha, pasti kalau makan diluar takut ketauan ya? Ya udah, terserah kamu aja, you’re the boss.”

“Hehe ya begitulah.”

Akhirnya kami memesan makan malam dan diantar ke hotel ini. Sambil menunggu, dan akhirnyaa makanan datang dan kami santap, kami hanya ngobrol basa-basi saja. Tapi dia kemudian cerita tentang calon suaminya dulu yang tewas itu. Dia bilang sudah sangat dekat dengannya, dengan keluarganya juga. Tapi namanya nasib, tidak pernah ada yang tahu.

“Terus, sejak itu kamu beneran nutup diri gitu Ing?”

“Iya. Hmm, gimana ya, aku masih nggak rela aja dia pergi dengan cara kayak gitu. Itulah yang ngebuat aku jadi seperti ini sekarang Kris.”

“Maksudnya?”

“Dulu, aku ditempatin di bagian polantas, terus dipindahin ke perlindungan anak dan perempuan, ya gitu-gitu lah. Tapi sejak kematian dia, aku jadi dendam banget sama para penjahat, terutama begal, rampok dan pemerkosa.”

“Nah, kalau begal sama rampok, okelah, aku paham. Tapi pemerkosa? Karena kamu juga wanita gitu?”

“Itu salah satunya. Tapi kamu tau nggak, kawanan begal yang digerebek waktu itu? Mereka itu kawanan yang nggak cuma sadis. Kalau ketemu korban laki-laki, biasanya dilukai, nggak sedikit yang dibunuh. Kalau ketemu korbanya perempuan, itu si korban dibawa dulu sama mereka, terus diperkosa rame-rame, kadang ada yang sampai dibunuh juga.”

“Ooh jadi gitu? Tapi mereka akhirnya bisa ditumpas kan?”

“Iya, tapi ya itu, dari polisi harus ada korban jiwa juga.”

“Terus, itu yang ngebuat kamu sampai berlatih keras gitu? Soalnya, kamu kan yang aku tau tuh cewek feminim, malah kadang cenderung manja. Kamu masuk polisi aja aku kaget, apalagi kamu jadi kayak gini sekarang.”

“Haha, ya gitu Kris, semua orang bisa berubah. Sejak itu aku yang dendam terus berlajar beladiri, sampai bisa jadi kayak gini. Aku juga yang minta dipindahin ke bagian kriminal, gatal rasanya tanganku pengen nangkepin penjahat itu.”

“Emang kamu nggak takut Ing?”

“Ya takut sih pasti ada lah, tapi gimana lagi, namanya tugas, dan dendam juga. Malah karena aku cewek, aku jadi lebih mudah buat nangkap mereka.”

“Loh kok gitu?”

“Iya. Seringnya aku nyamar. Para penjahat itu, yang kebanyakan pria, kan suka lengah kalau sama cewek.”

“Ya iyalah, lha kamunya cantik gitu, pasti gampang buat ngelabuhin musuhmu.”

“Haha mungkin juga sih. Tapi kadang aku juga duel sama mereka. Karena aku cewek, jadi mereka nganggap remeh gitu. Ujung-ujungnya, mereka babak belur juga sama aku.”

“Haha bener-bener nggak bisa dipercaya. Iing yang aku kenal, jadi kayak gini sekarang.”

“Makanya, sekarang bisa kan aku bantuin kamu, hehe.”

“Iya, hehe. Hmm Ing, aku makasih banget lho sama kamu, udah mau bantuin aku.”

“Simpen makasihmu kalau semua ini udah beres. Kita belum tau kan kedepannya kayak gimana. Dan nantinya Kris, kalau ternyata Jamal ini punya komplotan atau apapun yang jumlahnya besar, aku terpaksa harus minta bantuan juga lho.”

“Iya Ing, kalau itu memang diperlukan. Tapi kalau bisa, usahain buat ngeringkus si Jamal itu sendirian aja ya?”

“Iya, aku pasti bakal usahain.”

Aku hanya tersenyum mendengarnya. Aku sudah sampai sejauh ini merepotkan sahabat lamaku, dan kalau nantinya memang dia kesulitan dan harus minta bantuan orang lain, mungkin memang itu jalan yang harus diambil. Tak apalah, yang penting Arum bisa segera terbebas dari si Jamal itu.

Waktu sudah cukup malam, akhirnya aku berpamitan pada Iing. Dia mengatakan kepadaku kalau akan sering-sering menghubungiku, memberitahu sampai dimana hasil penyelidikannya. Aku percayakan saja semua padanya.

Sesampainya di rumah, kulihat sepi sekali. Mungkin Arum juga sudah tidur, sama seperti kemarin. Aku langsung ke kamar, dan ternyata benar, dia sudah tidur. Wajahnya juga lelah, sama seperti kemarin. Entah apa yang dia kerjakan 2 hari ini.

Tapi tiba-tiba aku berpikir, apakah mungkin 2 hari ini terjadi sesuatu diluar pekerjaannya? Apakah Jamal mulai mengganggunya lagi? Aku jadi teringat kata-kata Iing tempo hari, kalau memang ada kejadian lagi, mungkinkah Arum tetap akan menceritakannya kepadaku? Apakah ini bukan lagi sebuah pemerkosaan, tapi menjadi perselingkuhan? Ah aku tidak yakin, meskipun kemungkinan itu tetap ada.

Aku tak mau memikirkannya lebih jauh lagi, yang penting mulai besok Iing akan mulai menyelidiki si Jamal. Akupun menuju kamar mandi. Sampai disana, kulihat lagi ada pakaian kotor yang direndam oleh Arum, dan itu adalah seragam dinasnya. Aku jadi heran. Sudah 2 hari ini Arum selalu merendam pakaian kotornya. Padahal seingatku, selama ini dia hanya menumpuknya saja, dan baru mencucinya di akhir pekan. Apa yang membuat Arum melakukan itu?

Sial. Apakah ini untuk menutupi sesuatu dariku? Ah aku jadi terpikirkan lagi hal itu. Benarkah terjadi sesuatu dalam 2 hari ini?

Aku coba untuk melihat cucian yang direndam itu. aku cek satu persatu, mulai dari pakaian dinas, pakaian dalam sampai jilbabnya. Tapi percuma, sudah basah juga, tidak bisa aku menemukan apapun. Akupun bergegas untuk mandi. Setelah itu aku kembali ke kamar dan mencari handphone Arum. Aku ingin melihat apa saja isinya.

Selama ini aku tak pernah membuka-buka handphonenya, begitupun dia tak pernah membuka handphoneku. Kami saling percaya satu sama lain, apalagi selama ini kami selalu cerita kalau ada apa-apa. Kecuali komunikasiku dengan Iing yang memang aku rahasiakan dari Arum. Lalu, apakah Arum juga merahasiakan sesuatu dariku?

Setelah mengambil handphonenya, aku keluar kamar menuju ruang keluarga. Kubuka satu persatu akun sosial media milik Arum. Aku juga semua aplikasi pesan singkatnya. Lalu kubuka galeri foto dan videonya. Tapi tidak ada satupun yang mencurigakan. Bahkan, tidak ada catatan dia komunikasi dengan Jamal, kecuali pesan yang didapat beberapa minggu lalu, sebelum Arum diperkosa oleh Jamal.

Aku jadi bingung, dan entah kenapa aku jadi curiga. Kulihat jam dinding, baru jam 10 lewat. Biasanya, jam segini aku dan Arum belum tidur. Tapi sudah 2 malam ini dia tidur begitu pulas dengan wajah yang kelelahan. Dan oh iya, tadi dia menolak untuk berangkat bersamaku. Apakah memang ada tujuan lain selain ke kantornya?

Dia tadi juga bilang kalau pulangnya mau mampir ke rumah Sarah. Apakah benar dia ke rumah Sarah? Apa aku harus bertanya langsung pada Sarah? Tapi itu akan menunjukkan kalau aku sedang tidak mempercayai Arum. Dan kalau sudah begitu, bagaimana pula kalau nanti Sarah malah tanya macam-macam kepadaku? Tidak mungkin aku menceritakan apa yang terjadi pada Arum ke Sarah.

Huft, aku jadi bingung, apa yang harus kulakukan. Besok, Iing juga baru akan mulai menyelidiki Jamal. Kalau memang 2 hari ini Arum bersama Jamal, atau mungkin dipaksa untuk bersama dengan Jamal, aku sudah melewatkan bukti penting. Apa iya besok bakal keulang lagi?

Ah sialan, bagaimana ini? Aku benar-benar bingung. Akhirnya aku masuk lagi ke kamar. Terlihat Arum masih begitu pulasnya tertidur. Aku merebahkan diri disampingnya, tapi tak bisa segera tertidur. Aku benar-benar penasaran, apa yang terjadi pada Arum dalam 2 hari belakangan ini?

Iseng aku goyangkan tubuh Arum, dia tak bereaksi. Aku goyangkan agak keras lagi, dia diam saja. Hmm, sepertinya, kalau tidak bertanya langsung pada Arum, aku harus melihat langsung buktinya, yaitu kemaluan Arum. Kebiasaan Arum, kalau tidur dia jarang memakai pakaian dalam, harusnya ini akan lebih mudah.

Akupun bergerak perlahan ke bawah, ke arah kaki Arum. Perlahan kusingkat daster tidurnya. Sudah kusingkap sampai ke pinggang, tapi paha Arum tertutup rapat. Aku coba lagi goyangkan tubuh Arum dengan lebih keras, dan dia masih tetap terlelap. Akhirnya aku gerakkan paksa kakinya membuka agak lebar. Dan betapa terkejutnya aku melihat selangkangan istriku.

Sepertinya agak memerah, seperti memar begitu. Kulihat bahkan bukan hanya di lubang kemaluannya, tapi di lubang anusnya juga, agak memar juga. Benar, ini pasti benar. Telah terjadi sesuatu pada Arum selama 2 hari terakhir ini. Tapi kenapa Arum tidak cerita? Apakah dia takut? Atau apa? Atau karena kesibukanku yang selalu pulang malam 2 hari ini, jadi dia tidak ingin menambah beban pikiranku?

Ah, tiba-tiba penyesalan datang menghantuiku. Kalau saja aku tidak berbohong, pasti tidak akan begini kejadiannya. Pasti aku bisa menjaga Arum dari tangan biadab si Jamal. Sial sial sial!!! Aku kecolongan lagi.

+++
===
+++​

Keesokan paginya, kembali Arum membangunkanku seperti biasa. Kulihat wajahnya tersenyum menyambutku saat membuka mata. Aku yang dari semalam agak susah tidur karena berpikir, mengira-ngira apa yang terjadi pada Arum, hanya bisa membalas senyumannya. Dia bersikap biasa saja, jadi aku juga harus bersikap biasa padanya. Tapi hari ini, aku punya rencana untuknya.

“Umi, hari ini bisa berangkat sendiri aja nggak? Abi harus buru-buru nih mi.”

“Oh bisa kok bi. Emang ada apaan kok buru-buru?”

“Iya, jadi rapat semalam itu belum beres, mau dilanjutin pagi ini. Semalam umi udah tidur waktu abi mau cerita.”

“Oh gitu. Ya udah kalau gitu. Yang penting jangan lupa makan ya bi.”

“Iya mi, tenang aja.”

Selesai sarapan, aku langsung berangkat. Tak lupa kucium kening dan bibir istriku sebelumnya. Aku melajukan mobilku, tapi tidak segera ke kantor. Aku menghentikan mobilku di depan sebuah toko, menunggu Aru keluar dari gang perumahanku. Setelah agak lama menunggu, kulihat Arum dengan mengendarai sepeda motor maticnya keluar dari gang dan langsung berjalan menuju kantornya. Aku mengikutinya dengan sedikit menjaga jarak.

Dia sepertinya tak menyadari kalau sedang aku ikuti. Baguslah, memang itu tujuanku. Aku ingin benar-benar memastikan, apakah dia hari ini pergi ke kantor atau tidak. Motor yang dikendarai Arum akhirnya masuk ke kantornya. Aku masih menunggu beberapa saat, sampai jam kantornya mulai. Sebelumnya, aku sudah mengabari kantorku kalau aku ijin tidak masuk kerja hari ini karena sakit. Setelah memastikan Arum benar-benar masuk kerja, aku mengambil handphoneku untuk menghubungi seseorang.

“Halo.”

“Halo, kamu dimana?”

“Di rumah mas.”

“Ya udah, aku kesana ya?”

“Iya.”

Akupun menutup telpon dan langsung mengarahkan mobilku ke rumah orang yang ku telpon tadi. Beberapa menit kemudian aku sudah sampai di rumahnya. Dia menyambutku di depan pintu. Akupun turun dari mobil dan menghampirinya. Kami bersalaman, kemudian dia mempersilahkan aku masuk ke rumahnya. Dia agak ketakutan, terlihat dari ekspresi wajahnya.

“Mau minum apa mas?” tawarnya.

“Hmm apa aja deh.”

“Kopi atau teh?”

“Kopi aja.”

Diapun kemudian masuk ke dalam. Tak lama kemudian dia sudah kembali dengan membawakan secangkir kopi untukku.

“Jadi, mas Krisna mau bicarain apa sebenarnya? Sampai nyuruh aku buat nggak masuk kerja hari ini?”

“Ini soal Arum Sar.”

Ya, wanita itu adalah Sarah, teman sekantor istriku. Setelah semalam aku mengecek kemaluan istriku, aku menghubungi Sarah. Dia sempat kaget karena aku menelponnya malam-malam. Aku bilang ingin membicarakan hal yang sangat penting, menyangkut masa depan pernikahanku dengan Arum. Aku bahkan memaksanya untuk tidak masuk kerja hari ini. Awalnya dia menolak, tapi aku terus memaksanya hingga akhirnya diapun mau.

“Soal Arum? Emang Arum kenapa?”

“Kemarin Arum kesini nggak?”

“Kemarin? Emang kenapa sih mas?”

“Jawab aja dulu.”

“Aku bukannya nggak mau jawab mas. Tapi ini sebenarnya ada apa? Ada masalah apa antara mas Krisna sama Arum?”

“Aku curiga, terjadi sesuatu.”

“Maksud mas Krisna? Sesuatu apa?”

“Maaf Sar, aku nggak bisa, hmm, aku belum bisa ceritain semuanya ke kamu. Yang penting aku pengen tau, Arum sebenarnya kemarin kesini apa enggak?”

Sarah tak segera menjawab. Dia tampak sedang berpikir, atau mungkin menebak-nebak sebenarnya apa yang kusembunyikan darinya.

“Jadi mas Krisna maksa aku sampai nggak masuk kerja, cuma buat nanyain kemarin Arum kesini atau enggak? Itu doang mas? Kalau cuma itu, kenapa nggak semalem aja pas telpon? Bisa kan? Ini pasti ada apa-apanya! Apa yang sebenarnya terjadi mas?”

Tiba-tiba Sarah malah memberondongku dengan banyak pertanyaan, bahkan dengan nada sedikit emosi. Memang benar, kalau hanya menanyakan Arum kesini atau tidak, bisa lewat telpon semalam. Tapi entah kenapa, rasanya aku ingin membicarakan ini langsung dengannya.

“Hmm, maaf Sar, aku bener-bener nggak bisa cerita sekarang ini.”

“Apa ini soal pak Jamal?”

Deg. Kenapa Sarah bisa menebak ke arah sana? Aku benar-benar sangat kaget mendengar pertanyaannya itu, sampai tak bisa menjawabnya.

“Jadi bener kan, ini soal pak Jamal?” tanyanya lagi, setelah aku hanya diam.

“Gimana kamu bisa tau soal pak Jamal?”

Sarah tak menjawabnya, dia malah menundukkan kepala. Bahkan tak lama kemudian terlihat badannya sedikit bergetar dan dia terisak. Dia menangis. Loh, ada apa ini sebenarnya? Malah sekarang aku yang bingung.

“Sar, kamu kenapa kok malah nangis? Ada apa sebenarnya?”

Dia masih tak menjawab, bahkan tangisannya semakin kencang. Aku yang bingung reflek mendekatinya. Kusentuh bahunya, kuelus perlahan. Dia menatapku, dan tiba-tiba saja menghambur ke arahku, memeluk tubuhku dan tangisnya semakin pecah.

Aku benar-benar terkejut dengan situasi ini. Aku merasa ada yang salah dengan dia. Aku jadi teringat, Arum pernah cerita kalau selain dia, ada wanita lain yang menjadi korban si Jamal. Apakah Sarah salah satunya?

“Aa.. aku,, hiks,, aku juga mas.. hiks,, aku juga sama kayak Arum..”

Ucapnya di sela tangisnya ini benar-benar mengejutkanku. Ternyata benar, dia adalah salah satu korban kebejatan si Jamal. Aku mendadak merasa iba kepadanya. Apalagi yang aku tau, Sarah tinggal berjauhan dengan suaminya, yang hanya pulang kesini seminggu sekali, kadang 2 minggu sekali kalau suaminya sedang banyak kerjaan.

Reflek saja tanganku bergerak membalas pelukannya. Aku mengusap punggungnya perlahan, mencoba untuk menenangkannya. Tapi dia masih terus menangis. Kubiarkan saja sampai mereda. Mau tanya macam-macam juga percuma kalau dia masih menangis seperti ini.

Setelah 10 menit lebih dia menangis, akhirnya tangisnya mulai reda, tapi dia masuk terus memelukku. Aku biarkan saja, mungkin dia memang butuh tempat untuk berbagi, dimana saat ini hanya ada aku, tidak ada suaminya.

“Aku juga sama mas, aku diperkosa juga sama pak Jamal, dan aku dijadiin budak nafsunya, sama kayak Arum.”

“Budak nafsu? Sama kayak Arum? Maksudmu?”

Sarah mengangkat wajahnya, dan sedikit mengendurkan pelukannya. Dia menatapku. Entah bagaimana tanganku bergerak sendiri untuk mengapus air mata di pipinya.

“Arum nggak cerita sama mas Krisna?”

“Enggak. Cerita apa?”

“3 hari yang lalu, aku dan dia baru sama-sama tau, kalau kami ini sama-sama udah diperkosa oleh pak Jamal. Akhirnya kami saling cerita, gimana kami bisa masuk dalam perangkapnya.”

Akhirnya malah Sarah menceritakan dari awal bagaimana dia bisa masuk dalam perangkap Jamal, sampai sekarang menjadi budak nafsu bejatnya. Aku yang mendengarnya semakin geram, semakin marah pada Jamal.

“Arum juga bilang ke aku, kalau dia udah ceritain peristiwa itu ke kamu mas. Dan katanya kamu mau balas dendam sama pak Jamal. Aku setuju banget mas, dan aku mendukung apapun yang kamu lakuin. Aku pengen bisa lepas dari bandot tua sialan itu.”

“Kamu sendiri nggak cerita sama suamimu Sar?”

“Nggak mas, aku nggak berani buat cerita. Lagian mas Krisna kan tau, suamiku nggak disini. Disana dia kerjanya kayak gitu, aku takut malah nambahin beban pikirannya. Baru sekarang aku bisa cerita ini ke orang lain selain Arum kemarin mas.”

Aku hanya terdiam, mendengar apa yang dibilang oleh Sarah. Malah sekarang, kuusap kepalanya yang tertutup jilbab, diapun merebahkan kepalanya di dadaku.

“Mas..”

“Iya Sar, kenapa?”

“Tolongin aku mas, tolongin kami. Bebasin kami dari pak Jamal.”

“Iya Sar, pasti. Pasti aku akan tolongin kalian. Tapi sabar ya, aku juga butuh waktu.”

“Iya mas. Tapi kalau boleh tau, apa yang mau mas Krisna lakuin?”

Dengan gamblang aku menceritakan apa yang akan aku lakukan, termasuk bagaimana aku minta tolong pada Iing. Aku juga berpesan kepada Sarah, untuk tidak menceritakan hal ini kepada siapapun, termasuk kepada Arum.

“Lho kenapa Arum nggak boleh tau mas? Harusnya kan dia dikasih tau soal ini, biar dia juga semakin tenang.”

“Temanku yang minta Sar. Menurut Iing, kalau Arum dikasih tau malah takutnya dia ngerasa nggak terima karena dijadiin umpan. Jadi biar kami bergerak diam-diam saja, dan langsung ngegerebek kalau Jamal udah mau macem-macem sama Arum.”

“Ya udah, terserah mas Krisna aja. Yang penting, mas bisa cepet bereskan bandot tua itu mas. Aku udah nggak tahan jadi budaknya.”

“Iya, kamu doain aja semoga semua ini cepat beres.”

“Iya mas.”

“Ya udah, sekarang kamu jawab pertanyaanku. Kemarin Arum kesini nggak?”

“Aku nggak tau kemarin dia kesini atau enggak. Tapi yang jelas, kemarin dia nggak masuk kantor mas. Apa dia nggak bilang apa-apa sama mas Krisna?”

“Nggak ada Sar. 2 malam ini aku pulang malem terus. Dan setiap aku pulang, Arum udah tidur dan wajahnya kayak capek banget gitu. Hari pertama sih aku nggak ada mikir macem-macem, tapi semalam kok kayak gitu lagi, aku jadi mikir, emang apa sih yang kalian kerjain di kantor sampai harus secapek itu.”

“Lagian, aku nemuin dia ngerendem pakaian dinasnya yang dipake kemarin dan 2 hari yang lalu. Nggak biasanya Arum kayak gitu. Dia biasanya cuma naruh di bak pakaian kotor, dan baru dicuci di weekend, kadang aku bantuin juga nyucinya. Makanya aku mikir semalam pasti ada yang nggak beres.”

“Aku juga ingat kalau dia kemarin sempet bilang kalau mau ke rumahmu sepulang kerja, makanya semalem aku langsung nelpon kamu itu.”

“Memang mas, setahuku memang terjadi sesuatu sama Arum, tapi itu 2 hari yang lalu. Kalau yang kemarin, aku nggak tau dia kemana dan ngapain aja.”

“Emangnya 2 hari yang lalu ada apa Sar?”

“2 hari yang lalu, waktu aku masih di kantor, sehabis makan siang pak Jamal menghubungiku, memaksaku untuk segera ke rumahnya saat itu juga. Dia bilang kalau Arum sudah tidak sanggup lagi melayani mereka.”

“Mereka? maksudmu, bukan hanya Jamal?”

“Iya mas, ada satu orang lagi, namanya pak Bonar.”

“Bonar? Kayaknya aku pernah denger nama itu.”

“Dia itu temannya pak Jamal, temen yang kerjaannya sama kayak pak Jamal, menjerat para wanita, setelah itu mereka bertukar koleksi.”

Bangsat si Jamal. Dia tak hanya memperkosa istriku, tapi membaginya dengan orang lain juga. Tapi siapa itu Bonar? Rasanya aku pernah mendengarnya, tapi kapan ya?

“Aku nggak punya pilihan buat nolak mas, akhirnya siang itu juga aku ke rumah pak Jamal. Dan ternyata bener, waktu aku sampai, Arum udah terkapar nggak berdaya lagi diperkosa pak Bonar. Akhirnya aku dan Arum dipaksa untuk melayani mereka sampai sore. Setelah itu aku anterin Arum pulang.”

“Aku juga sempet nitip pakaian dinasku buat dicuciin sama Arum, karena udah lengket banget sama sperma 2 orang itu, sama kayak punya Arum.”

Ooh jadi gitu. Pantas saja Arum langsung merendamnya, mungkin dia ingin menghilangkan jejak.

“Tapi kenapa dia nggak cerita sama aku ya?”

“Mungkin dia takut mas. Dan mungkin kamunya juga lagi sibuk, dia nggak mau nambahin beban pikiranmu.”

Hmm, benar juga kata Sarah. Lagi-lagi ini salahku, kalau saja aku tidak berbohong, kalau saja aku tidak menemui Iing di luar kota dan menemuinya di hotel semalam, pasti Arum akan cerita semuanya. Maafin aku Arum, udah membuat kamu jadi kayak gini sekarang.

Sampai disini aku masih tak menyadari bagaimana posisiku dan Sarah saat ini. Tiba-tiba aku baru sadar saat kurasakan Sarah sedikit bergerak. Aku memperhatikan posisi kami, dan ternyata kami masih duduk berpelukan dengan erat. Apalagi sekarang Sarah seperti sedang menggesekkan bagian tubuhnya, yaitu buah dadanya di badanku. Seketika aku tersadar bahwa ini salah. Ini nggak boleh. Aku sudah punya Arum. Sarah juga sudah punya suami. Apalagi Sarah adalah sahabat Arum di kantor.

“Sar, hmm, lepas Sar, kita nggak boleh kayak gini.”

Aku mencoba untuk melepaskan pelukan Sarah, tapi yang ada dia malah memelukku semakin erat, tubuhnya makin menempel di tubuhku.

“Sarah..”

Dia menatapku dengan tatapan sendu. Matanya masih agak merah bekas menangis tadi.

“Mas, maaf. Aku tau ini salah. Tapi,, tapi aku sedang butuh sandaran, aku butuh pelukan mas. Aku butuh seseorang buat membagi beban ini. Sekali ini aja mas, aku mohon.”

“Tapi Sar, kita ini...”

“Mas, please...”

Entah kenapa tatapan sendunya membuat rasa ibaku kembali muncul. Memang benar, Sarah butuh tempat untuk berbagi. Dia sama seperti Arum, mengalami hal yang pasti menyakiti hatinya. Hanya saja bedanya, Arum punya aku, yang selalu ada untuknya. Sedangkan Sarah, suaminya ada di kota lain, tidak bisa setiap saat ada dan memeluknya seperti ini. Terlebih Sarah tahu kalau aku sudah tahu apa yang menimpa Arum, dan dia sudah tahu tentang rencanaku. Mungkin itu yang membuatnya percaya aku sehingga menceritakan semuanya kepadaku.

Aku tak bisa membantah lagi, aku ikuti kemauannya. Sarah memang sedang butuh seseorang, dan saat ini hanya aku yang paling memungkinkan untuk itu. Tanganku yang tadi melepas tubuhnya, kini memeluknya lagi. Tak ada niat macam-macam dariku, hanya ingin menenangkan Sarah saja.

Kami bertahan cukup lama dalam posisi itu. Sarah juga sejak tadi tak hanya diam, beberapa kali tubuhnya bergerak yang membuat buah dadanya menggesek di badanku. Apa dia tidak menyadarinya? Atau memang sengaja melakukan itu? Tapi untuk apa?

Aku ingin melarangnya, tapi aku merasa tak enak. Aku juga tak bereaksi apapun, takutnya dia salah paham dan berpikir aku sedang mencari kesempatan dalam kesempitan. Tapi, berkali-kali badan kami bergesekan, mau tak mau pikiranku mengarah ke bagian itu juga. Besar, dan kenyal. Bahkan aku kadang merasa, ada semacam tonjolan kecil yang ikut bergesekan dengan tubuhku. Apakah mungkin itu...

Aku iseng mengusap punggungnya. Selain ingin membuatnya tenang, aku ingin membuktikan apakah perkiraanku benar atau salah. Dan ternyata benar, aku tak bisa merasakan ada tali bh di punggung Sarah. Padahal tadipun aku sudah mengusap punggungnya seperti ini, tapi baru sekarang aku menyadarinya. Tapi, kenapa dia tidak memakai penutup dadanya itu?

Saat aku sedang memikirkan hal itu, gerakan Sarah makin menjadi. Tidak hanya menggesekan dadannya, wajahnya juga bergerak dari dadaku menuju ke daerah leherku. Dan aku bisa merasakan hembusan nafasnya, yang sepertinya agak tidak normal.

Aku benar-benar tak ingin berpikir macam-macam, tapi apa yang dilakukan Sarah ini sudah kelewatan menurutku. Tapi aku juga belum berani menegurnya, takutnya dia malah menyangka aku yang punya pikiran mesum kepadanya. Tapi ini... Ah kenapa malah begini jadinya?

Lama-lama aku tak bisa berpikir jernih juga. Hembusan nafas Sarah yang terus terasa di leherku, gesekan buah dadanya di badanku, dan aroma tubuh Sarah yang tercium hidungku, semuanya membuatku jadi berpikir yang tidak-tidak. Aku bahkan tak menyadari kalau ternyata tanganku di punggung Sarah sudah tak diam lagi, tapi bergerak terus mengusapnya.

Dia kemudian menarik kepalanya, tanpa melepas pelukan. Aku menolehkan wajahku, menatap wajahnya. Saat itu kurasakan wajahnya mendekat, dan tanpa bisa kutahan lagi bibir kami bertemu. Awalnya hanya saling bersentuhan, tapi kemudian bibir Sarah mulai bergerak melumat bibirku dengan perlahan. Dia bahkan mulai menutup matanya, sedangkan mataku masih terbuka lebar.

Aku masih terkejut dengan keadaan ini, dan aku hanya diam mematung. Perlahan, aku mulai membalas pagutan bibirnya. Lembut, begitu lembut dan hangat bibirnya. Bibir lain pertama yang kucium sejak aku berkenalan dan menikah dengan Arum hingga sekarang. Entah kenapa aku seperti tak ingin melepaskannya, tak ingin menghentikannya.

Bibir kami masih berpagut dengan lembut. Kadang lidahnya berusaha menyeruak masuk, namun kemudian ditarik lagi. Begitu diulangi beberapa kali, hingga membuatku penasaran. Akhirnya justru lidahku yang melakukan hal itu, sampai lidah kami bertemu dan saling mengait. Ciuman kami terasa semakin panas. Nafas Sarah semakin tak karuan, begitu juga dengan nafasku. Sampai di titik ini, aku melupakan semua hal lainnya, termasuk istriku sendiri.

Mataku akhirnya ikut terpejam, menikmati bibir Sarah yang terus melumat bibirku. Aku menyandarkan tubuhku di kursi, membuat Sarah sedikit bergerak naik, hingga kurasakan buah dadanya semakin menempel dan menggesek di dadaku. Aku bisa merasakan Sarah kembali bergerak, dan kali ini dia sudah mendudukiku. Astaga, dia menduduki selangkanganku, yang ternyata sudah ada yang mengeras disana. Akupun langsung menarik bibirku untuk menghentikan perbuatan kami ini.

“Sarah, udah Sar, kita nggak boleh kayak gini. Ini udah kelewat batas.”

“Mas Krisna, please.. selama ini aku hanya menjadi budak nafsu pak Jamal, dia memperlakukanku hanya sebagai pemuasnya saja. Suamiku juga sudah 2 minggu nggak pulang mas. Tolong bantu aku mas, aku mohon..”

“Tapi Sar, ini nggak boleh, ini...”

“Mas...”

Dia kembali menatapku dengan tatapan sendunya. Aku terdiam, dia juga. Tapi posisi kami tak berubah. Bahkan kurasakan dia sedikit bergerak di bawah sana, membuat batangku sedikit ngilu karena posisinya yang menekuk.

“Mas Krisna, aku mohon, bantu aku.. beri aku kasih sayang, kelembutan mas..”

Tak sempat aku menjawab, bibirnya kembali menyerangku, kali ini lebih ganas dari sebelumnya. Aku lemah. Entah mengapa aku sama sekali tak bisa menghentikannya. Aku kembali menerima, dan membalas ciumannya. Bahkan tanganku juga kembali memeluk tubuhnya, menekan agar dada kami kembali bergesekan. Sesaat kemudian dia melepaskan ciumannya lagi.

“Anggep ini ucapan terima kasihku mas. Meskipun kamu belum bisa bebasin aku dan Arum dari pak Jamal, tapi semoga dengan ini semua usahamu akan segera berhasil. Ini adalah awal, kalau kamu benar-benar berhasil, apapun yang kamu minta dari aku, pasti akan aku penuhi, apapun itu.”

Kembali tanpa sempat menjawab, bibirku sudah dilumat lagi oleh Sarah. Aku benar-benar sudah tak bisa berpikir jernih lagi. Aku terima semua itu, dan aku membalasnya dengan hal yang sama. Bibir kami terus berpagutan, penuh dengan gairah. Tapi aku juga bisa merasakan kalau Sarah ingin diperlakukan lembut, diberi kasih sayang, yang tidak dia dapatkan semenjak menjadi korban kebejatan Jamal.

Aku sudah tak ingat apa-apa lagi saat ini, tak menyadari apa yang sedang kami perbuat. Aku tersadar ketika Sarah menghentikan ciumannya dan sedikit menarik tubuhnya dari tubuhku. Aku baru menyadari kalau Sarah sudah membuka kemejanya, dan kedua tanganku saat ini berada di buat dadanya yang besar dan kenyal itu, lebih besar dari milik Arum.

“Mas Krisna, mau aku tetep pake ini apa dibuka aja?” tanyanya sambil memegang jilbabnya.

“Buka Sar,” jawabku spontan.

Dia tersenyum, kemudian menarik lepas jilbabnya, membuat rambut ikal sepunggungnya terlihat olehku. Kini bagian atas tubuh Sarah sudah tak tertutup apa-apa lagi. Aku hanya bisa terpaku. Selama ini hanya tubuh Arum saja yang aku lihat, dan sekarang, Sarah, oh seksi sekali dia.

Aku kembali hanya terdiam saat kedua tangannya dengan lincah melepasi kancing kemejaku, lalu melepaskannya dari tubuhku. Kaos dalam yang kupakai juga ditariknya sampai lepas. Kondisi kami sekarang sama, sama-sama telanjang dada. Dia kembali tersenyum, lalu menyerang bibirku lagi, tapi tak lama. Dia menaikkan posisinya hingga gunung kembarnya berada tepat di depan mukaku.

Tanpa dikomando, kuraih salah satu buah dadanya, dan yang sebelahnya langsung kuciumi.

“Ssshhh aaahh mas Krisnaaa, teruss maaaas...”

Bagaikan disiram minyak, api gairahku makin membawa dengan desahan Sarah itu. Suaranya yang serak-serak basah, membuat desahannya begitu erotis terdengar di telingaku. Aku terus mencumbui kedua buah dada Sarah bergantian. Kuremas juga dia dengan lembut. Aku tak ingin mengasarinya, karena aku ingin memberinya kelembutan.

Dalam posisi itu, ketika aku sedang mencumbu gunung kembarnya, Sarah berusaha membuka celana panjangnya sendiri. Sampai akhirnya dia menarik tubuhnya, membuat cumbuanku di payudaranya terlepas. Sekilas kulihat, dia sudah telanjang bulat.

Sarah kemudian bergantian menciumiku, mulai dari wajah, bibir, leher, hingga ke dadaku. Tak berhenti disitu, cumbuannya semakin turun menuju perutku. Uuh rasanya geli sekali, tak pernah aku mendapatkan yang seperti ini dari Arum. Biasanya Arum tak pernah seaktif ini ketika bercinta, dia lebih banyak diam dan akulah yang aktif. Sekarang sebaliknya, aku hanya diam membiarkan Sarah melakukan apapun yang dia mau.

Bahkan aku membantu dengan sedikit mengangkat pantatku ketika dia menarik turun celana panjang dan celana dalamku sekaligus. Aku sudah telanjang bulat sekarang, sama seperti dia. Sarah sempat melirik sebentar ke arahku dengan senyuman yang menurutku sangat sensual, tak menunggu lama dia langsung mencaplok batang penisku yang sudah mengeras.

“Aaaahh Saraaahhhh...”

Aku hanya bisa melenguh membiarkan penisku dia cium, dia jilati dan dia kulum. Dihisap-hisapnya penisku, dijilatinya kepala penis dan lubang kencingku yang ada di dalam mulutnya. Ooh ini luar biasa. Tak pernah Arum seperti ini kepadaku, dan ini rasanya nikmat sekali. Sarah benar-benar membuatku tak berdaya.

Beberapa saat Sarah mengoral penisku dengan luar biasa, membuat pertahananku hampir jebol. Aku langsung menarik kepalanya, aku tak ingin kalah duluan. Tujuanku adalah menolongnya kan, bukan malah dipuaskan olehnya. Tapi tak bisa kupungkiri, apa yang dilakukan oleh Sarah benar-benar telah membiusku. Apalagi sudah hampir sebulan aku tak berhubungan badan dengan Arum, sejak dia mengalami pemerkosaan itu.

Aku tarik tubuh Sarah ke atas dan kuciumi lagi bibirnya, yang beberapa saat lalu menservis penisku dengan begitu ganasnya.

“Kenapa ditarik mas? Mau keluar ya?” tanyanya saat ciuman kami terlepas, sambil tersenyum menggodaku.

“Emutanmu luar biasa Sar, aku hampir nggak bisa bertahan tadi. Aku nggak mau kalah duluan.”

“Hehe, itu baru mulutku lho mas, belum yang ini,” ucapnya sambil menunjuk ke arah selangkangannya.

“Oh ya? Coba buktikan.”

Aku merasa tertantang dengan ucapan Sarah. Aku juga penasaran, bagaimana rasanya liang surgawi milih sahabat istriku itu. Oh iya, di titik ini, aku sudah benar-benar melupakan status kami. Aku sudah benar-benar melupakan apa tujuanku yang sebenarnya datang kemari. Aku melupakan Arum, aku melupakan Jamal, bahkan aku melupakan Iing yang sedang membantuku menyelidiki Jamal. Yang ada di pikiranku saat ini adalah Sarah, hanya Sarah, yang sedang memegang penisku, dan bersiap memasukkannya ke dalam vaginanya.

“Oouhhh...”

Sarah melenguh saat tubuhnya bergerak turun, membuat kepala penisku tertelan bibir vaginanya. Dia tak berhenti, tubuhnya terus bergerak turun, membuat batangku sedikit demi sedikit mulai hilang ditelan vaginanya. Aku hanya bisa menahan nafas, meresapi pijatan dinding vagina Sarah di penisku.

“Aaaaaaahhhhhh...”

Kami berdua mendesah bersama saat penisku sudah hilang semua ditelan vagina Sarah. Kami saling berpandangan, saling tersenyum, kemudian saling berciuman. Ciuman yang jauh lebih dahsyat dari sebelumnya.

Perlahan Sarah mulai menggerakkan badannya naik turun, tanpa melepas ciuman kami. Hal itu membuat desahan kami tertahan. Aku tak mau tinggal diam. Tanganku bergerak ke payudaranya, meremasnya dengan kombinasi lembut dan kasar. Hal itu rupanya membuat syahwat Sarah semakin tak terkendali, terbukti dari gerakannya yang semakin liar.

Aku benar-benar kewalahan menghadapi Sarah. Aku yang hampir sebulan tak mendapat jatah dari Arum, dan ditambah dengan betapa menggairahkan dan binalnya Sarah membuat pertahananku begitu tipis. Aku sudah tak kuat lagi. Aku raih tubuh Sarah, kupeluk erat dan kugerakaan pinggulku sendiri dengan cepat.

“Saraaah aaahh aakhuu,,, aku nggak tahaaan lagiiihh...”

“Tahan bentar maass, keluar bareeng... iya terusss maass aaaahh cepertiiinn...”

“Saraaahhh aku keluaaaarrrr...”

“Aaaahhh maaaassss...”

Crot.. crot.. crot..

Tanpa bisa kubendung, cairan spermaku yang tertahan hampir sebulan lamanya kukeluarkan semua di dalam vagina Sarah. Tubuhku sampai kelojotan saking nikmatnya. Begitupun Sarah. Kurasakan vagina Sarah juga berkedut dan keluar cairan hangat yang menyiram penisku. Diapun juga beberapa kali mengejang tubuhnya, diapun orgasme.

Aku merasa senang, karena buatku tak begitu memalukan, karena aku hanya tahan sebentar saja, mungkin tak sampai 2 menit. Tapi meski begitu, aku bisa membuat Sarah orgasme juga. Tubuh Sarah menimpa tubuhku, dan kami sama-sama lemas. Kami sedang mengatur nafas kami masing-masing. Tak ada kata apapun yang terucap. Hanya saja sebersit penyesalan muncul di hatiku, bahwa aku telah menghianati pernikahanku dengan Arum.

Meskipun tubuh Arum juga sudah pernah dirasakan oleh orang lain, bahkan bukan hanya satu orang, tapi Arum melakukannya dalam keadaan dipaksa. Sedangkan aku, apa? Terpaksa? Aku rasa sama sekali tidak. Lalu apa? Pelampiasan? Pelarian? Entahlah, yang jelas alasan untuk membantu dan memberi Sarah kelembutan hanyalah sebuah alibi yang terbentuk di pikiranku sendiri. Tapi dibalik itu aku tahu, alasan itu sama sekali tak bisa dibenarkan. Intinya, aku telah menyeleweng, selingkuh, dan ini lebih parah daripada yang dialami oleh Arum.

“Mas Krisna, maaf ya udah maksa mas buat kayak gini. Aku tau ini semua salah, tapi aku nggak bisa nahan diriku sendiri mas. Aku,, aku butuh ini, dan hanya mas Krisna yang bisa melakukannya. Aku juga merasa bersalah sama Arum, tapi aku nggak bisa bohong kalau aku butuh ini semua mas.”

Aku tak menjawab kata-kata Sarah. Aku tahu, dia tak punya niat buruk. Semua ini murni karena dia haus akan kasih sayang, yang jarang sekali didapat dari suaminya. Apalagi sejak menjadi budak Jamal, bukan kasih sayang dan kelembutan yang didapat, tapi hanya dijadikan pelampiasan nafsu, dijadikan tempat buang sperma saja.

Aku hanya bisa memeluk dan mencium kepala Sarah. Diapun membalas dengan memelukku semakin erat. Cukup lama kami dalam posisi itu, sampai kurasakan penisku mulai mengeras lagi. Oh tidak, haruskah terulang? Haruskah aku melakukannya lagi?

Rupanya Sarah menyadari hal itu, dan bangkit dan tersenyum. Dia meraih tanganku dan menarikku menuju ke sebuah kamar. Kami berjalan dengan telanjang bulat, meninggalkan pakaian kami di ruang tamu. Begitu sampai di dalam kamar, dia langsung menyerangku dengan ganas, akupun tak kalah ganasnya.

Aku sudah memutuskan, untuk mengesampingkan apapun hari ini. Aku sudah putuskan, aku masuk ke dalam lembah perselingkuhan dengan Sarah. Aku tak memikirkan hal yang lainnya dulu. Urusan Arum dengan Jamal, sudah ada Iing yang membantuku. Untuk hari ini saja, sehari ini saja, aku ingin melakukannya dengan Sarah.

Maafkan aku Arum sayang, bukannya aku ingin membalas apa yang terjadi padamu dengan melampiaskannya ke Sarah. Tapi, entahlah, aku tak tahu harus menyebut ini sebagai apa. Aku tahu ini salah, dan aku hanya bisa minta maaf kepadamu. Untuk sehari ini saja, aku hanya ingin bersama Sarah. Semua ini terlalu sayang untuk dilewatkan. Maafkan aku Arum.

“Terima kasih mas Krisna, aku sayang sama kamu.”

Kata-kata itu masih terngiang di telingaku. Kata-kata yang diucapkan Sarah kepadaku saat aku memeluk tubuhnya, sebelum melangkahkan kakiku meninggalkan rumahnya. Dan gilanya, aku menjawab dengan kata-kata yang sama. Entah apa yang ada dipikiranku saat itu, tapi kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku.

Sudah 3 hari berlalu sejak hubungan terlarangku dengan Sarah, kami tak lagi mengulanginya. Bahkan aku belum lagi menghubunginya, begitupun dirinya, belum lagi menghubungiku. Rasanya lebih baik begini, karena setelahnya muncul penyesalan di hatiku, telah menyeleweng dari istriku. Entah bagaimana perasaan Sarah sekarang, aku tak tahu. Hanya saja dia sempat berjanji, dia akan memberitahu aku kalau ada sesuatu yang akan terjadi dengan Arum dan Jamal.

Sedangkan Iing, dia terus mengabariku dalam 3 hari ini. Rupanya dia masih terus mengikuti Jamal. Dia sudah mengumpulkan cukup banyak informasi tentang lelaki itu. Rupanya Jamal tinggal di sebuah perumahan elit di kota ini. Istrinya tidak selalu di rumah karena memiliki usaha yang cukup maju di luar kota, sehingga lebih sering istrinya berada di luar kota. Sedangkan anak-anak mereka juga berada di luar kota, tinggal dengan mertua Jamal dan bersekolah disana. Pantas saja Jamal seperti leluasa untuk melakukan aksinya.

Sementara itu sampai sekarang Iing belum bisa mengetahui tentang siapa saja anak buah Jamal, karena selama 3 hari ini Jamal tak melakukan kontak dengan orang-orang yang mencurigakan. Kegiatan Jamal selama 3 hari ini juga hanya berkutat di rumah dan kantor saja, tidak ada yang menarik.

“Terus, kalau sampai 3 hari lagi nggak ada apa-apa, gimana Ing? Kamu kan harus kembali ke kotamu?” tanyaku saat sore ini aku menelponnya.

“Udahlah, gampang itu, kamu nggak usah pikirin, biar aku yang urus.”

“Ya tapi akunya jadi nggak enak, kamu malah entar dianggap melalaikan tugas utamamu lagi.”

“Kris, aku udah bilang, biar aku yang urus. Kamu percaya aja sama aku.”

“Ya udah kalau gitu. Tapi semoga dalam 3 hari kedepan, kita bisa segera menangkap si Jamal itu.”

“Iya, kita berharap aja.”

Aku memang menjadi agak tenang karena 3 hari ini Arum tak mendapat gangguan dari Jamal. Selama 3 hari ini dia juga terlihat lebih segar, tidak capek dan tidur lebih awal seperti beberapa hari yang lalu. Kemarin aku juga sempat mengajaknya berhubungan badan, dia mau, tapi aku merasa ada yang lain dari Arum. Dia terlihat seperti ketakutan saat aku mulai menyetubuhinya, meskipun terlihat sekali dia berusaha menyembunyikannya. Dan aku bisa merasakan, dia tidak bisa menikmati persetubuhan kami, tapi dia seolah menunjukkan kalau dia menikmatinya, seperti yang biasa kami lakukan. Sepertinya, dia memang masih trauma, apalagi kalau dari cerita Sarah, yang mereka berdua digarap habis-habisan oleh Jamal dan temannya itu.

Akupun tak ambil pusing. Sepertinya aku memang harus memberi waktu lebih lama kepada Arum untuk memulihkan kondisinya. Baik kondisi fisik maupun psikisnya. Meskipun begitu aku terharu dengan sikap Arum, yang meskipun masih mengalami trauma tapi tetap berusaha untuk melayaniku, meskipun tidak bisa maksimal seperti biasanya. Aku bisa memakluminya, dan tak ingin menuntutnya lebih.

Apalagi aku juga masih menyimpan rasa bersalah karena perselingkuhanku dengan Sarah. Waktu itu, di kamar Sarah, kami bercinta habis-habisan. Dia benar-benar luar biasa, aku sampai kewalahan menghadapinya. Dia cerita ke aku, kalau memang sebelum menjadi budaknya Jamal, dia sudah seperti itu saat berhubungan dengan suaminya. Mereka sudah melakukan itu sejak sebelum menikah, tak heran jika Sarah memiliki nafsu yang meledak-ledak. Terlebih dia bilang, kemarin dia melakukannya sebagai pelampiasan atas kebutuhannya, kebutuhan sebagai wanita yang ingin disayang, dimengerti dan dimanjakan, yang jarang didapat dari suaminya, apalagi dari Jamal.

Tapi aku sendiri sudah berusaha untuk melupakan apa yang terjadi antara aku dengan Sarah, meskipun itu sulit. Bayangan tubuh seksi Sarah, permainan ranjangnya yang luar biasa, juga desahannya yang serak-serak basah membuatku begitu sulit menghapus memori itu. Tapi demi Arum, aku harus bisa melakukannya. Aku sudah berjanji dalam hatiku, itu adalah pertama dan terakhir aku berselingkuh dari Arum, tak ingin lagi aku mengulanginya.

2 hari berlalu dengan cepat tanpa ada perkembangan berarti. Iing hanya punya waktu sisa 2 hari lagi di kota ini, meskipun dia bilang bisa saja diperpanjang. Tapi sampai sekarang, tidak ada apapun yang terjadi antara Arum dengan Jamal. Disatu sisi aku merasa tenang, tapi disisi lain aku merasa tak enak pada Iing, karena sudah hampir seminggu tapi tak ada hasil seperti yang diharapkan.

Hari sabtu pagi, aku terbangun saat sinar mentari menembus jendela kamar. Kubuka mata dan kulirik jam dinding, sudah hampir jam 8. Memang sudah jadi kebiasaan Arum dia tak pernah membangunkanku pagi-pagi di akhir pekan, kecuali aku yang memintanya kalau mau ada acara. Arum sudah tidak ada di kamar, mungkin sedang mencuci atau beres-beres rumah, seperti yang rutin setiap weekend dia kerjakan.

Aku bangkit dan menuju kamar mandi. Tak kudapati Arum disana, apalagi pakaian kotor juga masih menumpuk di bak. Setelah cuci muka, aku menuju ke ruang makan, sudah disiapkan sarapan buatku juga ternyata, tapi Arum kemana ya? Aku cari-cari di depan dan di belakang rumah, tapi tidak ada. Akupun mengambil handphoneku untuk menghubunginya. Tapi sebelum menghubungi, ternyata ada pesan dari Arum.

‘Abi, umi pergi dulu ke rumah bu Ratih ya, arisan bulanan. Tadi udah umi siapin sarapan buat abi.’

Aku meninggat-ingat lagi. Oh iya, ini weekend terakhir di bulan ini, memang sudah jadwalnya Arum arisan bulanan. Dan biasanya, ibu-ibu itu kalau sudah kumpul, suka lupa waktu. Biasanya Arum baru akan pulang jelang makan siang, untuk menyiapkan makan untukku. Rupanya kali ini arisannya di tempat bu Ratih, tetanggaku yang rumahnya ada di ujung komplek, cukup jauh juga.

Setelah sarapan aku hanya bersantai sambil menonton TV saja. Sesekali aku buka akun media sosialku, untuk melihat berita-berita terbaru dari akun portal berita yang kuikuti. Aku memang cukup update untuk masalah berita, karena selain sering menonton di TV dan lewat media sosial, teman-temanku di kantor sering membahas berita-berita terbaru.

Sekitar jam setengah 10 aku sudah merasa bosan sekali. Mau mandi tapi masih malas. Tidak ada yang kulakukan di weekend ini. Mau menghubungi Arum juga percuma, karena kalau sudah arisan dia jarang mau mengangkat telponku, kecuali aku kirim pesan dulu kalau itu penting. Saat aku sedang bengong, tiba-tiba handphoneku berdering, kulihat di layarnya, Iing menelponku. Ada apa ya?

“Halo Ing.”

“Halo Kris, kamu dimana?” tanya Iing, dengan nada sedikit panik, ada apa ini?

“Aku di rumah Ing, ada apa kok kayaknya kamu panik gitu?”

“Barusan aku mau nyelidikin Jamal, tapi waktu aku mau masuk ke perumahannya, kulihat mobilnya juga baru masuk, dan sepertinya di dalam mobil ada perempuan. Aku nggak bisa pastiin itu siapa, tapi kayaknya perempuan itu berjilbab, mungkin Arum.”

“Loh, Arum kan lagi arisan. Orang lain kali.”

“Ooh gitu ya? Ya udah buat mastiin aku coba intai ke rumahnya aja.”

“Oke, nanti kabarin lagi ya.”

Tanpa menjawab Iing menutup telponnya. Hmm, Jamal membawa wanita berjilbab ke rumahnya? Apa mungkin itu Sarah atau korbannya yang lain ya? Soalnya kan Arum sedang arisan di rumah bu Ratih. Ah aku pastiin aja, aku telpon Sarah aja kalau gitu.

“Halo mas Krisna.”

“Halo Sar, kamu lagi dimana?”

“Aku lagi di jalan mas, mau ke stasiun jemput suamiku. Ada apa?”

“Loh, lagi di jalan?”

“Iya, emang kenapa mas?”

“Tadi Iing telpon aku, katanya liat Jamal masuk ke perumahan bawa cewek berjilbab gitu, aku pikir kamu.”

“Bukan kok mas. Atau mungkin Arum?”

“Enggak sih, Arum kan lagi arisan.”

“Udah dipastiin mas?”

“Eh, belum sih.”

“Coba pastiin dulu mas, hubungi Arum biar jelas.”

“Oh ya udah, makasih ya.”

“Iya mas.”

Sarah sedang ke stasiun jemput suaminya? Arum juga sedang arisan, lalu siapa yang dibawa Jamal ya? Tapi kan Arum dan Sarah bilang selain mereka ada perempuan lain yang jadi korbannya Jamal. Ah tapi benar juga, aku harus pastikan dulu apakah Arum masih di tempat bu Ratih atau tidak. Aku coba menelponnya, dan seperti yang sudah kuduga, tidak diangkat oleh Arum. Pasti handphonenya ada di dalam tas. Hmm, aku telpon bu Ratih aja kalau gitu.

“Halo assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam bu Ratih.”

“Iya mas Krisna, ada apa?”

“Enggak bu, mau nanya aja, Arum masih disitu bu?”

“Mbak Arum? Nggak ada tuh mas.”

“Lho bukannya arisan ya di tempat bu Ratih?”

“Ah enggak mas, arisannya ditunda besok kok, kemarin juga udah saya kasih tau ibu-ibu yang lain, soalnya hari ini saya mau ke tempat saudara yang lagi hajatan. Emang mbak Arum nggak bilang mas?”

“Wah nggak bilang bu, saya kira lagi di tempat ibu. Dia lagi keluar soalnya, ini saya baru bangun tidur juga, hehe.”

“Oalah, ya coba dihubungi lagi mas, mungkin lagi belanja ke pasar.”

“Iya bu, makasih ya bu.”

“Iya mas sama-sama.”

Haduh, ternyata arisannya bukan hari ini, terus kemana Arum? Dan kenapa dia mengirimiku pesan kalau sedang arisan di tempat bu Ratih? Apa dia berbohong kepadaku? Tapi kenapa? Masih banyak pertanyaan di benakku, tiba-tiba handphoneku berdering lagi. Iing. Tiba-tiba perasaanku jadi tak enak.

“Halo Ing, gimana?”

“Kris, kamu cepet kesini. Yang dibawa Jamal itu si Arum.”

“Apa? Baiklah, aku kesana, minta alamatnya ya.”

“Oke, aku share lokasinya lewat WA.”

Begitu mendapat lokasi dimana Iing berada, aku langsung berangkat. Kali ini aku memakai motor saja, yang baru aku tahu kalau tidak dipakai oleh Arum. Memang seharusnya kalau Arum pergi ke rumah bu Ratih, dia membawa motor ini karena jaraknya cukup jauh. Duh bodohnya aku, kenapa nggak kepikiran dari tadi ngecek motornya masih ada apa enggak.

Tak mau berlama-lama, setelah memastikan semua pintu terkunci akupun bergegas memacu motorku menuju ke alamat yang dikirim oleh Iing. Aku berharap tidak sampai terlambat, semoga saja Jamal belum melakukan apapun kepada istriku. Emosiku terbakar, aku bawa motorku ini dengan kecepatan tinggi, ingin secepatnya aku sampai disana. Di gerbang perumahan itu, aku tersenyum ramah kepada sekuriti, yang begitu saja membukakan portal untukku. Aneh sekali, perumahan elit begini, kok satpamnya gampang saja membukakan pintu, padahal setahuku paling tidak ditanya macam-macam dulu, atau harus dicatat identitasnya, apalagi aku belum pernah kesini. Tapi ya sudahlah, yang penting aku bisa cepat sampai di rumah Jamal.

Aku agak bingung juga mencari rumahnya, kulihat di peta, sudah ada petunjuk, tapi ternyata tidak terlalu akurat, aku harus 2 kali nyasar karena salah masuk gang buntu. Akhirnya setelah berputar-putar aku sampai juga di alamat yang dimaksud. Ada sebuah motor matic terparkir disana, itu pasti motor yang disewa oleh Iing. Aku parkirkan motorku di dekat motor Iing. Begitu aku turun, kulihat Iing sedang bersembunyi di pepohonan dekat rumah itu. Dia yang melihatku datang langsung mengkodeku untuk menghampirinya, sambil memintaku untuk tidak berisik.

“Gimana Ing? Mereka udah di dalem?” tanyaku berbisik kepadanya.

“Iya, mereka udah masuk. Ini aku nungguin kamu dulu.”

“Tapi kamu yakin kan kalau itu Arum?”

“Yakin banget, 100 %.”

“Terus gimana ini? Langsung kita gerebek?”

“Iya, ayo ikuti aku. Dan usahakan jangan membuat suara yang mencurigakan.”

“Oke.”

Aku mengikuti saja langkah Iing dengan hati-hati. Rumah ini pagarnya tidak terlalu tinggi jadi apapun yang kami lakukan bisa saja dilihat oleh orang yang kebetulan lewat, atau oleh tetangga Jamal, karena itulah kami harus bergerak dengan hati-hati.

Setelah mendekati pintu rumah itu, Iing mengambil sesuatu di balik jaketnya, ternyata itu adalah sebuah pistol. Wah, aku cukup terkejut juga melihat wanita secantik itu memegang pistol, dan yang pasti itu adalah pistol sungguhan. Tapi memang itu sudah jadi pegangannnya sehari-hari, jadi aku memakluminya saja.

Aku berada di belakang Iing, menunggu apa yang sedang dia lakukan. Dia tampak menempelkan telinganya di pintu beberapa saat, kemudian menoleh ke arahku.

“Sepertinya mereka ada di ruang tengah,” ucapnya berbisik.

Aku hanya mengangguk. Aku benar-benar merasa grogi, deg-degan. Belum pernah aku melakukan hal ini sebelumnya. Seperti mau menangkap penjahat besar saja. Tapi yang membuatku lebih deg-degan adalah, membayangkan apa yang sedang terjadi pada Arum di dalam rumah ini. Sedang apa dia? Apakah Jamal sudah mulai menjamahnya? Aku harap belum.

Perlahan, Iing mencoba membuka pintu rumah itu. Beruntung, pintunya tidak dikunci. Dia membukanya sangat perlahan sambil mengintip ke dalam. Aku sampai menahan nafas melihatnya, tambah deg-degan rasanya. Dan beruntungnya lagi, saat pintu itu dibuka, tidak sampai menimbulkan suara, sehingga kami bisa masuk dengan aman. Bergantian Iing dan aku masuk, lalu dia kembali menutup pintunya.

Dari dalam sini, bisa kudengar suara desahan seorang wanita, yang aku yakin sekali itu adalah suara Arum. Darahku tiba-tiba mendidih, ingin rasanya aku segera melabrak kesana dan menghajar Jamal. Tapi Iing menahan tanganku, aku menoleh padanya dan dia menggelengkan kepala.

“Jangan gegabah, tenang dulu. Siapa tau ada orang lain juga,” kembali dia berbisik kepadaku.

Aku sebenarnya ingin cepat-cepat masuk dan menghajar si Jamal itu, tapi kata-kata Iing ada benarnya juga. Jamal kan punya anak buah preman, siapa tahu mereka ada di dalam juga. Bisa repot kalau ternyata ada penjaganya. Untuk beberapa saat, aku mencoba mengontrol emosiku. Setelah itu, aku mengangguk padanya, dan dia mulai bergerak. Dengan hati-hati dan mengendap-endap, kami berjalan makin masuk ke dalam rumah. Iing berhenti kemudian menempelkan punggungnya ke dinding, aku mengikutinya. Sesaat dia mengamati situasi di dalam, kemudian menoleh kearahku.

“Gimana?” tanyaku.

“Aman, cuma mereka . Tunggu aba-abaku, nanti langsung kita gerebek mereka.”

Aku hanya mengangguk, tapi mendengar desahan Arum yang semakin jelas membuatku semakin emosi. Aku yakin Jamal sudah mulai menyetubuhi istriku. Bangsat! Aku ingin sekali menghajarnya. Aku terus melihat Iing, menunggu aba-abanya, sedangkan dia masih terus mengintip ke arah dalam. Tak lama tangannya bergerak, seperti menghitung mundur, dan ketika hitungannya sudah di angka 1, kami langsung bergerak dengan cepat.

“Jangan bergerak! Angkat tangan!” pekik Iing sambil menodongkan pistolnya.

Mataku terbelalak melihat apa yang sedang terjadi disana. Tubuh istriku yang masih dengan pakaian lengkapnya, terbaring di lantai dengan kaki mengangkang. Rok panjangnya tersingkap sampai ke perut, dan kulihat celana dalamnya juga sudah tak terpasang di tempatnya. Disitu, lubang kemaluan istriku sedang diisi oleh penis Jamal yang, memang besar.

“Apa-apaan ini hah?!”

“Abii??”

Keduanya terkejut. Arum yang melihatku langsung berusaha meronta. Dia berhasil melepaskan penis Jamal dari vaginanya, tapi saat akan berbalik berlari ke arahku, dia ditangkap dan dibekap oleh Jamal. Sialan!

“Jamal, lepaskan Arum dan menyerahlah!” pekik Iing.

“Kamu siapa? Berani-beraninya masuk ke rumahku dan menodongkan senjata?”

“Saya polisi. Dan kamu saya tahan atas tuduhan pemerkosaan!”

“Pemerkosaan? Haha. Jangan bercanda, kami lagi ngentot, suka sama suka, bukan perkosaan, haha.”

“Bajingan kamu Jamal, lepasin istriku!!” akupun tak kalah emosi setelah mendengar ucapan Jamal.

“Abi, tolongin umi ni, hiks.”

Arum menangis dalam dekapan jamal. Sialan lelaki ini, dia berlindung di balik seorang perempuan. Dasar banci!!!

“Jamal, saya peringatkan sekali lagi, lepaskan Arum dan menyerahlah! Atau...”

“Atau apa? Mau nembak? Silahkan kalau kalian pengen Arum celaka, haha.”

Bersamaan dengan itu Jamal mengeluarkan sebuah pisau lipat, yang entah dia simpan dimana. Dia mengarahkan pisau itu ke leher Arum. Makin menangislah Arum saat ini. Akupun makin emosi, begitu juga dengan Iing. Kami tak menyangka Jamal akan bertindak seperti itu. Padahal tadi Iing menunda sebentar untuk mengamati kondisi di sekitar, dan setelah memastikan aman baru bergerak. Tapi ternyata, posisinya sekarang jadi serba sulit.

“Nah bu polwan, silahkan tembak kalau kamu mau wanita ini ikut mati bersamaku, haha.”

“Bajingan kau Jamal.”

“Haha, sepertinya kalian tak punya pilihan lain. Cepat buang senjatamu kemari!”

Iing masih tak bergerak. Dia masih menodongkan senjatanya ke arah Jamal sambil kulihat dia bibirnya bergerak-gerak, mungkin sedang meracau kesal. Aku sendiri bingung, bagaimana caranya meringkus Jamal tanpa membuat Arum terlihat, mungkin Iing juga begitu.

Buughh!!

“Aaaarrrgggg...”

Tiba-tiba saja kurasakan tengkukku dipukul dari belakang hingga aku limbung dan terjatuh. Pusing sekali rasanya. Tapi kucoba melihat siapa yang memukulku, betapa terkejutnya aku ternyata di belakang kami sudah ada 5 orang pria. Sejak kapan mereka masuk? Kenapa kami tak menyadarinya?

Iing sendiri yang terkejut melihat aku dipukul berbalik menodongkan senjatanya ke pria-pria yang ada di belakangnya. Tapi rupanya pria itu sudah lebih siap. Salah satu langsung memegang tangan Iing dan 2 orang lain langsung memukulinya. Iing yang tidak siap mendapat serangan itu terbungkuk menahan sakit diperutnya, akibatnya pistol yang dia pegang dengan mudah direbut.

Iing langsung diringkus. 2 orang pria memegang kedua tangannya masing-masing. Kemudian pria yang merebut pistolnya langsung memeluk memegangi kaki Iing hingga dia tak dapat bergerak. Setelah itu seorang lagi yang umurnya lebih tua daripada yang lain langsung menghampiri dan menghujani perut Iing dengan pukulan. Terdengar teriakan Iing menahan sakit dipukuli oleh pria yang sepertinya seumuran dengan Jamal itu.

Aku sendiri masih tergeletak di lantai dan terus dihajar oleh pria yang memukulku dari belakang tadi. Dia menendangi perutku berkali-kali. Kadang tendangannya mengarah ke mukaku, hingga aku benar-benar kesakitan. Tak pernah dalam hidupku aku dihajar sampai seperti ini.

“Udaaaah hiikss udaaah jangan sakiti mas Krisnaaa...”

Kudengar Arum berteriak-teriak memohon pada lelaki itu untuk berhenti menghajarku, tapi pria itu tak menggubrisnya. Dia masih terus menghajarku, hingga aku benar-benar merasakan sakit yang luar biasa. Akhirnya pria itu berhenti dan menjauh dariku, meninggalkanku yang masih meringkuk menahan sakit di sekujur tubuhku. Tapi tak lama kemudian pria itu datang lagi. Dia menarik tanganku dan mengikatnya dibelakang tubuhku. Aku lalu di dudukkan bersandar di sofa, lalu dia juga mengikut kakiku. Sekarang aku benar-benar tak berdaya, sama sekali tak bisa bergerak karena ikatan ini sangatlah kuat.

Aku melihat lagi kondisi Iing. Dia sudah tak lagi dipukuli dan dipegangi. Tubuhnya didorong hingga terjatuh di lantai. Dia juga meringkuk memegangi perutna yang dari tadi dipukuli. Tapi wajahnya masih terlihat galak, sorot matanya tajam pada orang yang memukulinya, memancarkan kemarahan yang luar biasa. Dia sudah akan bergerak untuk menyerang balik pria itu, tapi pria yang merebut pistolnya tadi langsung mengarahkan pistol itu ke arahnya. Hal itu membuat Iing terdiam, sedangkan para pria itu tertawa dengan puas.

“Wah Bonar, untung kamu datang tepat waktu. Kalau sampai terlambat, bisa mati aku sama cewek itu, haha.”

“Haha, aku sebenarnya udah datang dari tadi, tapi aku liat cewek ini mengendap-endap di depan. Nggak lama kemudian datang cowok itu. Aku pikir ada yang nggak beres, makanya aku telpon anak buahmu, untuk mereka cepet datangnya.”

Oh, jadi pria itu bernama Bonar, dan keempat pria lainnya adalah anak buah Jamal. Sialan, kami tidak tahu kalau pengintaian kami justru diintai oleh Bonar. Sekarang posisinya berbalik, dan aku punya firasat yang sangat buruk akan hal ini.

“Ngomong-ngomong, siapa cewek ini Mal?”

“Entahlah, bilangnya sih polisi. Mungkin temennya si Krisna itu.”

“Oh jadi ini yang namanya Krisna, suaminya Arum? Baguslah, kamu datang sekarang jadi bisa melihat istrimu kami garap ramai-ramai, haha.”

Aku benar-benar marah dengan ucapan Bonar itu, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Kaki tanganku diikat dengan kuat. Bahkan kalau tidak diikatpun, rasanya mustahil juga aku melawan mereka, apalagi sekarang mereka memegang pistol milik Iing.

“Tapi wanita ini cantik juga Mal, gimana kalau kita sedikit bersenang-senang dengan dia?” ucap Bonar.

“Haha kamu bener Nar. Ada polisi cantik gini, sayang kalau nggak kita ajak main-main.”

“Bajingan kalian semua, bedebah!!!” maki Iing, tapi dia masih saja diam di bawah todongan pistolnya sendiri.

Bonar kemudian memberi kode pada pria yang memegang pistol, dia menunjuk ke arahku. Pria itu kemudian menghampiriku, dan menempelkan ujung pistol itu di kepalaku. Sialan, dia ingin mengancam Iing dengan aku. Benar-benar bajingan licik!!!

Tak lama kemudian ketiga anak buah Jamal yang lain menghampiri Jamal dan Arum. Mereka langsung memegangi Arum, sedangkan Jamal bergerak mendekati Bonar. Mereka berdua tampak tersenyum menjijikkan menatap Iing. Aku sudah tahu apa yang mereka inginkan, dan Iingpun pasti juga sudah menyadarinya.

“Kalau kamu nggak pengen Krisna dan Arum celaka, buka pakaian kamu.”

Kami, aku, Arum dan Iing sendiri terkejut mendengar ucapan Jamal. Meskipun sebenarnya aku sudah menduganya. Iing masih diam tak bergerak, wajahnya semakin memerah karena emosi.

Braak...

“Aaarrrggghh...”

Tiba-tiba pria yang menodongku memukulkan gagang pistol itu di kepalaku, membuat Iing terkejut dan menatap ke arahku.

Breeet...

“Kyaaaaa...”

Terdengar jeritan dari Arum. Aku dan Iing serempak menolah ke arahnya. Pakaian Arum dirobek paksa oleh anak buah Jamal, hingga terpampanglah payudaranya yang masih tertutup bh putih.

“Ayo, cepat lakuin atau mereka berdua akan semakin menderita, haha.”

Tawa Jamal dan Bonar benar-benar memuakan. Licik! Licik sekali mereka.

“Baiklah.”

Aku terkejut mendengar ucapan Iing. Dia akan menuruti kemauan kedua pria bajingan itu? Oh tidak, jangan Ing, aku mohon jangan.

“Aku akan menuruti semua permintaan kalian, tapi lepaskan dulu Arum dan Krisna, biarkan mereka pergi.”

“Oh tentu saja tidak sayang. Mereka akan tetap berdua disini, melihatmu melayani kami, haha.”

“Bajingan, jangan seenaknya kalian. Cepat lepaskan mereka, dan aku akan menuruti semua perintah kalian!!”

Braak...

Breeet...

Kembali kepalaku dipukul dengan pistol, dan pakaian Arum dirobek lagi oleh anak buah Jamal. Aku hanya bisa mengerang kesakitan, sedangkan Arum kembali berteriak karena sekarang tubuh atasnya hanya tinggal tertutup bh. Pria itu bahkan sudah memegang rok panjangnya, bersiap untuk merobeknya juga.

“Liat sendiri kan? Kalau kamu nggak nurut, mereka akan semakin menderita, haha.”

“Bajingan kalian!!”

Iing memaki dengan keras. Wajahnya penuh emosi. Tapi akhirnya tangannya bergerak, meraih resleting jaket kulitnya, menurunkannya dan akhirnya melepaskan jaket itu dari tubuhnya.

“Ing, jangan Ing..” ucapku dengan suara parau, tapi mendapat jawaban berupa pukulan lagi di kepalaku.

“Hentikan. Baik, aku akan turuti kemauan kalian, jangan sakiti Krisna dan Arum.”

“Silahkan dilanjut,” ucap Jamal dengan santainya.

Iing lalu menarik kaos merahnya ke atas hingga melewati kepalanya, lalu membuangnya mengikuti jaket kulitnya tadi. Di balik kaos itu, dia masih memakai tanktop hitam ketat. Iing kemudian menatap Jamal, dan Jamal hanya mengangguk. Iing terlihat menelan ludahnya, sebelum akhirnya dia melakukan hal yang sama terhadap tanktopnya. Kini, tubuh atasnya hanya tinggal tertutup bh hitam yang kontras dengan kulitnya yang putih.

Iing melanjutkan lagi, dia melepaskan celana panjangnya dan membuangnya ke lantai. Dia berhenti sejenak. Dia tampak ragu untuk melepas penutup tubuhnya yang tersisa. Dia bahkan sempat melihatku dan Arum. Aku dan Arum sama-sama menggelengkan kepala, tapi melihat anak buah Jamal yang siap menyiksa kami, Iingpun mau tak mau melanjutkan aksinya. Dia dengan cepat melepas bh dan celana dalamnya, lalu menutupi buah dada dan selangkangannya dengan kedua tangannya.

Baru kali ini aku melihat tubuh Iing tanpa tertutup apapun, dan harus kuakui, tubuhnya benar-benar indah. Dari tubuhnya terlihat kalau ototnya terbentuk berkat latihan dan olahraga rutin. Memang kedua payudara maupun pantatnya tidak besar, tapi terlihat padat, dan sempurna. Hanya saja di perutnya terlihat memar kebiruan bekas dipukuli oleh Bonar tadi.

Jamal dan Bonar yang melihat itu semua tertawa penuh kepuasan, begitu juga dengan keempat anak buahnya. Sementara aku, di dalam hatiku muncul penyesalan yang teramat besar, karena niatku untuk menolong Arum malah gagal total, bahkan menyeret Iing, sahabatku sedari kecil, masuk dalam masalah ini, dimana sebentar lagi dia akan menjadi korban Jamal dan Bonar.

Aku mengharapkan keajaiban, ada yang datang untuk menolong kami. Tapi siapa? Bahkan aku tidak memberitahu siapapun mengenai hal ini. Aku hanya minta tolong pada Iing, dan sepertinya dia juga belum minta bantuan siapapun, karena mengira Jamal hanya sendirian. Tak akan ada yang datang menolong kami. Kami sudah masuk dalam neraka yang kami ciptakan sendiri.

Jamal dan Bonar tak hanya berdiri diam saja. Mereka langsung menelanjangi diri mereka masing-masing. Aku dan Iing terkejut melihat tubuh kedua lelaki itu, terutama benda yang menggantung di bawah perut mereka. Arum memang pernah cerita kalau kemaluan Jamal lebih besar daripada milikku, tapi aku tak menyangka sebesar itu. Begitu pula milik Bonar, yang sepertinya seukuran dengan Jamal. Aku tak bisa membayangkan jika kedua penis itu memperkosa Iing. Aku tak tahu, apakah Iing masih perawan atau tidak, kalau masih, betapa menyakitkannya untuk Iing.

Jamal dan Bonar perlahan mendekati Iing. Iing mengambil langkah mundur, tapi Jamal langsung meraih tangannya, membuatnya terlepas dari kedua payudaranya, sehingga buah dada mengkal itu tergantung bebas.

“Kamu layani kami cantik, jangan coba-coba untuk melawan, karena sedikit saja kamu melawan, kedua orang itu akan kami habisi, mengerti?”

Iing tak menjawabnya, hanya diam saja. Bonar yang sudah tak tahan langsung saja menyergap dan menciumi Iing. Iing berusaha mengatupkan bibirnya, tapi Bonar terus menciumi dan menjilati wajahnya. Aku bisa melihat bagaimana ekspresi wajah Iing yang jijik dengan perlakuan Bonar. Jamal sendiri menjamah salah satu buah dada Iing, sambil tangannya mengarahkan tangan Iing ke penisnya, memaksanya untuk mengocok penis itu.

Aku benar-benar tak tahan melihat itu, aku bahkan mulai menangis dengan ketidakberdayaan kami ini. Aku membuang pandanganku tapi pria yang menodongku memaksa untuk terus melihat bagaimana Iing dicabuli oleh Jamal dan Bonar.

“Hei, liat bagaimana polwan itu dientot sama boss, kalau enggak, istrimu bakal kami gilir sampai nggak bisa bangun lagi.”

Lagi-lagi dengan sebuah ancaman. Benar-benar licik mereka. Tapi aku sedikit merasa lega karena Arum tidak diapa-apakan, hanya dipegangi saja. Tapi sampai kapan? Aku yakin merekapun akan memperkosa Arum nantinya. Tapi untuk saat ini, aku terpaksa melihat bagaimana Iing dicabuli 2 orang pria bangsat itu.

Puas menciumi Iing, Jamal dan Bonar memaksa Iing untuk berjongkok, mereka memaksa Iing untuk mengoral penis mereka. Iing tampak enggan, tapi melihatku yang sudah siap dipukul dan Arum yang sudah siap diperkosa, dia tak punya pilihan lain. Dia berusaha keras memasukkan penis-penis besar itu ke dalam mulutnya bergantian. Terlihat sekali dia kepayahan, atau mungkin, dia memang belum pernah melakukan ini sebelumnya?

“Wah, amatiran sekali kamu? Apa belum pernah nyepongin kontol ya? Wah, jangan-jangan masih perawan juga ini polwan Mal? Haha.”

“Iya, siapa tau, beruntung sekali kita hari ini, haha. Tapi ingat, ini daerahku, berarti aku yang pertama.”

“Ya ya, terserah kau saja lah, haha.”

Mereka berdua terus memaksa Iing untuk mengulum penis mereka hingga terlihat mengeras. Benar-benar berbeda dengan penisku, punya mereka memang jauh lebih besar dan panjang. Dan kalau benar Iing masih perawan, oh tidak, aku tak bisa membayangkannya.

Tak lama kemudian mereka memaksa Iing untuk berbaring dan membuka pahanya lebar-lebar. Dan yang lebih brengseknya adalah mereka mengarahkan selangkangan Iing ke arahku, sehingga aku bisa melihatnya dengan jelas. Aku jadi teringat bentuk bibir vagina Arum saat dulu aku perawani dia. Tak salah lagi, Iing pasti juga masih perawan.

Jamal kemudian mengambil tempat di antara kedua kaki Iing. Dia menggesek-gesekkan ujung penisnya di bibir vagina Iing yang masih kering itu. sementara itu Bonar memegangi kedua tangan Iing di atas kepalanya.

Jamal mulai melakukan penetrasi. Dia memaksakan kepala penisnya yang besar itu untuk membelah bibir kemaluan sempit Iing. Aku bisa melihat ekspresi wajah Iing meskipun tidak terlalu jelas karena sedikit terhalang tubuh Jamal. Iing mengatupkan bibirnya erat-erat, sementara ekspresinya benar-benar terlihat sedang menahan sakit.

“Aaahh...”

Jamal melenguh saat sebagian penisnya berhasil masuk memaksa bibir vagina Iing terbuka. Dan saat itu Iing yang masih menutup bibirnya, memejamkan mata juga. Aku bisa mengerti kalau dia sangat kesakitan. Tak lama kemudian Jamal melenguh lagi saat dengan sebuah hentakan keras, dia benamkan seluruh penisnya di dalam vagina Iing.

“Aaaaaaaarrrrggghhhhhhh...”

Terdengar teriakan panjang dari Iing. Dia tak mampu lagi menahan rasa sakitnya. Wajahnya menyiratkan betapa sakit yang dia rasakan saat ini. Terlihat cairan merah keluar merembes dari sela-sela bibir vaginanya dan penis Jamal. Dan akupun semakin deras mengucurkan air mata melihat sahabatku sejak kecil, diperawani dengan paksa di depan kedua mataku.

“Wahaha, masih perawan Nar. Gila, beruntung banget aku, dapet polwan cantik yang masih perawan gini, haha.”

Tak lama kemudian Jamal menghentak-hentakkan penisnya dengan kuat maju mundur. Iing yang tadi berusaha tegar dan kuat, kini sudah menangis meraung-raung. Meskipun seorang polisi yang kuat dengan ilmu beladiri yang tak bisa dianggap remeh, tapi sebagai wanita biasa, diperawani dengan cara menyakitkan seperti ini tetaplah dia menangis. Mendengar raungan dan tangisannya itu, aku benar-benar tak tahan. Akupun menangis karena merasa ini semua adalah salahku.

Tubuh Iing melonjak-lonjak karena genjotan kasar Jamal. Dia terus menjerit dan menangis, memperlihatkan rasa sakit yang luar biasa. Aku bisa melihat bibir vaginanya kembang kempis saat penis Jamal keluar masuk. Lelehan darah juga makin banyak mengalir dari vaginanya.

“Aaaaaaa jangaaaann..”

Aku terkejut mendengar teriakan Arum. Pandanganku yang sedari tadi terpaku saat Iing diperawani Jamal, membuatku tak melihat ke arah Arum sedikitpun. Dan kini saat aku melihat ke arahya, rupanya dia sudah ditelanjangi oleh ketiga pria yang memeganginya. Bukan hanya itu, Arum bahkan sudah disetubuhi oleh pria-pria itu. Seorang pria berbaring di lantai dengan penisnya berada di dalam vagina Arum. Sedangkan di belakangnya, seorang pria lagi bersiap memasukkan penisnya di lubang anus Arum.

“Hei, apa yang kalian lakukan? Bangsat! Lepasin Arum! Kalian udah janji tadi!!!”

Teriakanku sama sekali tak didengar oleh mereka. Yang ada hanyalah teriakan keras Arum saat penis pria kedua masuk di lubang anusnya. Dia terlihat kesakitan sekali. Hatiku juga benar-benar sakit saat ini, melihat istriku disetubuhi oleh 2 orang sekaligus, dan melihat sahabatku direnggut kesuciannya.

“Aabiiii,, hiikss tolong biii..”

Arum terus merintih kesakitan, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Yang ada sekarang malah pria ketiga yang juga sudah telanjang bulat memaksa Arum untuk mengulum penisnya. Arum, istriku, saat ini diperkosa oleh 3 orang sekaligus di ketiga lubangnya. Dan aku, suaminya, tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikannya.

“Aaaah sempit banget.. aku nggak tahan.. aku mau keluaarr..”

Aku kembali mengalihkan pandanganku ke Iing yang sedang diperkosa Jamal. Dia semakin cepat menggerakkan penisnya, dan sepertinya dia memang sudah akan orgasme. Iing sendiri yang mendengar ucapan Jamal langsung terkejut dan berusaha meronta.

“Jangan.. Jangan di dalem.. cabutt.. cabuuuutt...!!!”

“Aaaahhhh aku keluaaaarrr.. rasain pejuhkuuu... aaaaaahhh...”

“Jangaaaaaaannn...”

Kulihat beberapa kali tubuh Jamal mengejat sambil menusukkan dalam-dalam penisnya di vagina Iing. Sementara Iing yang berteriak histeris kembali pecah tangisnya karena menyadari Jamal berejakulasi di dalam rahimnya, yang bisa saja membuatnya hamil. Beberapa saat Jamal mendiamkan penisnya, diapun menariknya hingga keluar dari vagina Iing.

Aku bisa melihat bibir vaginanya membuka dan semakin kemerahan. Kemudian lelehan sperma kental putih Jamal bercampur dengan darah keperawanan Iing mengalir keluar. Iing terus sesenggukan, tapi tak bergerak meskipun Bonar tak lagi memeganginya. Dia begitu syok dengan kejadian ini.

Tapi penderitaan Iing belumlah selesai. Bonar mengambil tempat menggantikan Jamal. Dia langsung saja menusukkan penisnya yang sudah sangat tegang di vagina Iing. Karena habis diperkosa oleh Jamal, dan dilumasi oleh sperma dan darah Iing, dia bisa memasukkannya lebih mudah daripada Jamal tadi.

Bonar langsung menyetubuhi Iing dengan cepat, membuat tubuh Iing terlonjak-lonjak. Iing sudah terlihat pasrah. Mau melawanpun sudah percuma, kehormatannya sudah direnggut oleh Jamal, bahkan bisa jadi dia hamil karena perbuatan pria laknat itu.

Jamal yang baru saja memperkosa Iing, menghampirinya dan memaksa Iing untuk membersihkan penisnya yang belepotan sperma dan darah. Iing sudah tak melawan lagi, dia hanya diam saja ketika dipaksa membuka mulut dan dimasuki penis Jamal. Iing kini disetubuhi oleh Bonar di vaginanya, dan Jamal di mulutnya.

Iingpun hanya diam saja tak melawan waktu Bonar mengangkat tubuhnya. Kini Bonar berada di bawah, sedangkan Iing di atasnya. Dengan begini aku bisa melihat dengan jelas wajah Iing, tapi tak bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi di bawah sana. Iingpun menatapku dengan sendu. Dia menangis lagi, dan akupun ikut menangis melihatnya.

Tak lama kemudian kulihat Jamal bergerak di belakang Iing. Aku punya firasat buruk tentang ini. Apalagi saat ini Arum istriku juga sedang dalam posisi seperti itu. Dan benar saja, Iing yang tadi hanya diam tiba-tiba panik. Dia mencoba meronta dan melihat ke belakang, tapi tubuhnya ditahan oleh pelukan Bonar dengan kuat.

“Jangan.. Jangan disitu, aku mohon jangan..”

“Haha, mulut dan memekmu udah aku perawanin, sekarang tinggal boolmu sayang.”

“Jangan.. aku mohon, apapun asal jangan itu, aku mohon..”

Jamal seperti tak menggubris permintaan Iing. Dia masih sibuk di belakang Iing. Aku tak bisa melihat apa yang terjadi disana. Hingga tiba-tiba tubuh Iing mengejang. Kedua bola matanya melotot ke arahku, dan mulutnya juga terbuka lebar. Bersamaan dengan itu Jamal nampak sedang memaksakan bergerak mendorong ke depan.

“Aaaaarrrggggghhhh sakiiiiiiiittttt... udaaaahh... cabuuuuuttt...”

Iing berteriak begitu keras. Aku tak bisa melihatnya, tapi aku tahu kini lubang anusnya sudah berhasil diperawani oleh Jamal. Aku semakin menangis melihat air mata Iing yang terus mengalir, juga raungannya yang terdengar memilukan.

Iing terlihat begitu kesakitan, lebih sakit daripada Arum yang sekarang juga sedang dalam kondisi seperti itu. Tentu saja, karena ini adalah pertama kalinya untuk Iing. Sedangkan Arum, yang aku tahu dia sudah pernah diperawani lubang belakangnya oleh Jamal. Lagipula, saat ini ketiga lelaki yang memperkosa Arum, penis mereka tidaklah sebesar milik Jamal dan Bonar. Sudah pasti rasa sakit yang dirasakan oleh Iing jauh berlipat dibandingkan Arum.

Hatiku sudah benar-benar hancur, melihat kedua wanita itu diperkosa dengan kasarnya, dengan sadisnya, tanpa aku sedikitpun bisa menolong. Ketiga pria yang memperkosa Arum terus menggerakkan penis mereka dengan brutal. Aku bisa melihat wajahnyapun telah basah dengan air mata.

Sementara itu Iing juga mulai digoyang badannya oleh kedua pemerkosanya. Tatapan mata Iing lurus ke arahku. Dia seperti ingin menyampaikan betapa sakitnya dia kini. Air matanya belum berhenti, begitu juga dengan rintihan pilunya.

Entah berapa lama mereka melakukan itu semua, hingga akhirnya satu persatu pria meraih orgasme mereka. Kulihat ketiga pria yang memperkosa Arum orgasme lebih dulu bergantian. Mereka sama sekali tak mencabut penisnya, menyemburkan spermanya di dalam vagina, anus, dan mulut Arum. Arum terpaksa menelan semua cairan di mulutnya karena kepalanya terus di tahan.

Beberapa saat kemudian, Bonar dan Jamal mengerang hampir bersamaan. Mereka orgasme di kedua lubang milik Iing. Tubuh Iingpun ikut menegang, entah karena dia ikut orgasme juga, atau apa aku tidak tahu, tapi yang jelas kondisinya benar-benar menyedihkan.

Ketiga pria yang memperkosa Arum sudah melepaskannya hingga kini tergeletak tak berdaya di lantai. Arum menatapku dengan penuh rasa bersalah, begitupun aku. Arum sudah akan bergerak merangkak mendekatiku, tapi pria yang sedari tadi menodongkan pistol ke arahku, yang belum mendapat jatah malah menghampirinya. Sekali lagi Arum harus dipaksa melayani pria lain selain aku, suaminya.

Sedangkan Iing, kini juga tergeletak dilantai dengan posisi terlentang. Kedua kaki dan tangannya terbuka lebar, dan mengarah padaku. Bisa kulihat kedua lubang miliknya memar dan memerah, terbuka cukup lebar, dan dari keduanya melelah cairan putih kental milik kedua pemerkosanya. Iingpun masih belum reda tangisnnya, tapi sudah hampir tak bersuara.

Penderitaan mereka berdua, dan penderitaanku hari itu belumlah berakhir. Setelah semua beristirahat, para pria itu kembali memperkosa Arum dan Iing. Keempat pria anak buah Jamal menggilir Arum, sedangkan Jamal dan Bonar tampaknya terlalu antusias dengan mainan baru mereka, Iing.

Aku sudah tak sanggup melihat itu semua, aku berharap saat ini aku pingsan saja. Melihat mereka berdua diperkosa seperti itu benar-benar membuat hatiku sakit. Aku terus memejamkan mata sedari tadi, sampai akhirnya kurasakan ada yang menyentuh bagian selangkanganku. Begitu kubuka mata, betapa terkejutnya aku ternyata Iing yang ada di depanku.

“Ayo Ing, kamu kasih hiburan buat temanmu itu. Kasihan dari tadi dia cuma liat istrinya dientot. Tapi jangan kasih memekmu, isep aja kontolnya sampai keluar,” ucap Bonar.

“Ing, jangan, jangan Ing, jangan turuti mereka.”

“Kris, Ing, kalau kalian nggak mau nurut, Arum yang bakal terima akibatnya.”

Arum yang juga melihat dan mendengar ucapan mereka jadi kaget. Apalagi ketika pria-pria yang sedang memperkosa Arum tiba-tiba ada yang mencekik lehernya, ada juga yang meremas kedua payudaranya dengan sangat kasar.

“Tunggu tunggu, jangan sakiti Arum..”

Jamal dan Bonar hanya tersenyum mendengar ucapanku, begitu juga keempat lelaki yang sedang menyiksa Arum. Arum sendiri hanya bisa menangis, dia mencoba memalingkan mukanya tapi para lelaki itu terus memaksa untuk melihat ke arahku.

“Maafin aku Kris,” ucap Iing saat dia mulai membuka celanaku, hingga tampaklah penisku yang lunglai.

Aku hanya diam saja saat Iing mulai menciumi dan mengulum penisku. Aku harus bagaimana? Menahan agar tak sampai orgasme? Itu akan malah membuat Arum disiksa. Tapi menikmatinya? Bagaimana mungkin aku bisa menikmatinya dalam kondisi seperti ini? Apalagi di depan istriku langsung.

Akhirnya aku mengalah, aku tak ingin Arum disakiti lebih dari ini. Tapi aku belum juga terangsang sempurna, karena memang Iing terasa kurang pandai melakukannya, jauh berbeda dibandingkan Sarah. Ah iya, Sarah. Akupun akhirnya membuka memoriku akan Sarah. Mengingat-ingat kembali apa yang pernah kami lakukan. Dan berhasil, perlahan penisku bereaksi, mulai mengeras di dalam mulut Iing.

Masih dengan mata terpejam, aku terus membayangkan apa yang kulakukan dengan Sarah beberapa hari yang lalu. Aku tak ingin membuka mata karena tak ingin melihat siapa yang sedang mengoral penisku, aku tak tega. Aku juga tak ingin melihat bagaimana ekspresi Arum ketika melihatku dioral oleh orang lain.

Setelah beberapa saat, aku merasa pertahananku akan segera jebol. Tapi aku tak berusaha menahannya, agar semua ini segera selesai. Penisku mulai berkedut di dalam mulut Iing, kurasa dia juga tahu apa yang akan terjadi, karena itulah dia seperti tambah bersamangat untuk segera menyelesaikannya.

“Aaaaaahhhhh...”

Aku mendesah panjang. Tubuhkupun ikut mengejang saat cairan spermaku tumpah di dalam mulut Iing.

“Telan semua Ing, jangan ada yang bersisa, haha,” terdengar ucapan Jamal memprovokasi Iing. Tapi dia menurutinya. Dia telan semua spermaku, kemudian dia jilat penisku hingga bersih, hari dia menarik kepalanya dan aku membuka mataku.

“Gimana rasanya sperma pertama yang kamu telan? Enak? Haha,” ucapan Bonar menyadarkanku. Memang benar, tadi Bonar dan Jamal hanya membuang sperma mereka di dalam vagina dan anus Iing. Berarti spermaku adalah yang pertama yang dia telan.

Kulihat Iing hanya diam saja, tapi masih sesenggukan. Aku menoleh ke arah Arum, dia juga menangis melihatku, tapi tak ada kesan marah darinya. Dia pasti paham dengan situasi saat ini. Apalagi dia sendiri sedari tadi juga sudah berkali-kali diperkosa di depan mataku.

Hari sudah sore, kami semua kelaparan. Jamal menyuruh anak buahnya untuk membeli makanan. Aku, Arum dan Iing dipaksa untuk makan. Meskipun tidak berselera, tapi kami terpaksa makan juga, karena kami juga dibawah todongan senjata milik Iing.

Selesai makan, mereka memulai lagi aksinya. Kembali kedua wanita cantik yang merupakan istri dan sahabatku itu diperkosa habis-habisan oleh mereka, dan aku hanya bisa melihatnya tanpa bisa melakukan perlawanan apapun. Tangisan, rintihan dan desahan mewarnai malam itu. Aku sudah tak ingat dengan jelas apa yang terjadi, aku terlalu pusing melihatnya. Hanya saja, yang terakhir kuingat sebelum aku tertidur atau kehilangan kesadaranku adalah, Arum dan Iing sudah tak lagi berteriak kesakitan, tapi mereka sudah mulai mendesah penuh kenikmatan sambil menggoyangkan tubuh telanjang mereka melayani penis pemerkosanya.

+++
===
+++​

Aku sedang duduk di teras rumahku sambil merenungi apa yang setahun ini terjadi kepadaku. Ya, waktu berlalu dengan cepat. Peristiwa pemerkosaan yang menimpaku dan mbak Inggrid sudah setahun berlalu. Kini semuanya sudah berubah, tidak seperti dulu lagi.

Sebulan setelah peristiwa itu, aku bercerai dengan mas Krisna. Aku yang memintanya untuk bercerai. Awalnya dia menolak dengan berbagai alasan, tapi aku terus memaksanya karena merasa diriku bukan lagi wanita yang pantas untuknya. Aku telah benar-benar kotor. Pernihakan suci kami telah rusak. Aku telah membiarkan tubuhku dinikmati oleh orang lain. Bukan hanya 1 atau 2 orang, tapi 6 orang. Bahkan aku mengancam akan bunuh diri jika dia tak mau menceraikanku.

Akhirnya karena terus menerus kupaksa, mas Krisna mau menceraikanku juga. Tapi di depan semua orang, mas Krisna menempatkan dirinya sendiri sebagai pihak yang bersalah. Dia mengaku kepada semua orang bahwa telah berselingkuh dengan wanita lain, dan merasa lebih mencintai wanita itu daripada aku. Dia ingin orang tetap memandang baik padaku, dan menimpakan semua kesalahan padanya.

Setelah bercerai, mas Krisna mengajukan pengunduran diri dari kantornya. Dia sekarang sudah tidak berada di kota ini lagi. Sempat agak lama aku tidak mendengar kabar darinya, bahkan pergi kemana aku juga tidak tahu. Tapi beberapa bulan yang lalu aku mendengar kabar kalau ternyata dia sekarang sudah menikah dengan mbak Inggrid.

Aku mendengar kabar itu dari rekan mbak Inggrid saat aku mencoba mencari informasi kesana. Mbak Inggrid sendiri setelah peristiwa itu dia juga mundur dari pekerjaannya. Mungkin mas Krisna menikahi mbak Inggrid sebagai penebusan rasa bersalah kepadanya. Memang sebelum pergi, mas Krisna sempat bercerita semuanya kepadaku, termasuk bagaimana mbak Inggrid bisa ada disana hari itu.

Mas Krisna tampak begitu menyesal dan merasa bersalah kepada mbak Inggrid. Dia merasa telah menjerumuskan sahabat kecilnya itu sehingga dinodai oleh pak Jamal dan teman-temannya. Memang waktu itu dia tidak mengatakan akan bertanggung jawab, tapi setelah mendengar kabar kalau akhirnya mereka menikah, aku bisa menarik kesimpulan kalau memang itu adalah bentuk tanggung jawab dari mas Krisna.

Aku sama sekali tak keberatan kalau mereka berdua menikah, bahkan aku mendoakan mereka agar rumah tangga mereka bisa berjalan bahagia, tanpa ada dirusak oleh orang-orang seperti pak Jamal. Tapi hanya itu saja kabar yang aku dengar. Saat aku bertanya dimana mereka sekarang, teman-teman mbak Inggridpun juga tidak tahu.

6 bulan setelah bercerai dari mas Krisna, aku sudah menikah lagi. Aku menikah dengan salah seorang anak buah pak Jamal yang memperkosaku saat itu. Tadinya aku menolak karena pak Jamal pernah bilang kalau anak buahnya adalah preman yang sering berhubungan dengan pelacur jalanan. Akupun sempat takut terkena penyakit seksual karena telah diperkosa oleh mereka.

Tapi ternyata semua itu hanyalah karangan pak Jamal saja. Keempat anak buahnya itu ternyata bukan preman. Mereka pria biasa yang memiliki pekerjaan yang layak. Mereka menjadi anak buah pak Jamal karena rasa hutang budinya. Pak Jamallah yang membuat mereka punya pekerjaan seperti sekarang.

Seperti suamiku sekarang. Namanya Dedi. Dia bekerja di sebuah perusahaan swasta di kota ini. Memang tidak besar, tapi cukuplah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, karena akupun juga masih bekerja.

Namun pernikahan kami tak lebih hanyalah sebuah status. Di balik itu semua, aku dan Sarah, juga beberapa wanita lain, tetap menjadi budak nafsu pak Jamal, pak Bonar dan para anak buahnya. Maka tak heran, meskipun aku adalah istri Dedi, tapi aku tetap melayani mereka kapanpun mereka memintanya.

Aku tak tahu sampai kapan semua ini akan berakhir, ataukah aku, dan wanita-wanita lainnya akan terus menjadi budak nafsu mereka. Aku dan Sarah sudah pasrah sekarang. Bukan lagi karena kami diancam dengan video persetubuhan atau apapun. Tapi karena mereka sudah berhasil merubah kami menjadi wanita-wanita yang haus akan seks, menjadi wanita-wanita yang tak tahan untuk tak disentuh oleh lelaki. Tapi kami masih bisa menahan diri, untuk tak melakukan dengan orang lain, selain pak Jamal, pak Bonar dan anak buahnya. Aku tak tahu dengan korban pak Jamal dan pak Bonar lainnya, tapi sekarang, beginilah kondisi kami.

Terjebak Hutang Budi Terjebak Hutang Budi Reviewed by Unknown on 18.49 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Recent In Internet

Diberdayakan oleh Blogger.